TU 16 Badger
Tu-16,
Pembom Strategis Yang Menakutkan. Meski sekarang sering dilecehkan,
setidaknya TNI AU pernah merasakan menjadi yang terkuat tidak cuma di
Asia Tenggara tapi bisa jadi di Asia. Sebagai perbandingan, ketika itu
China, India, dan Australia belum punya pembom strategis atau jet tempur
Mach 2. Hanya AS yang mengoperasikan pembom B-58 Hustler, Inggris
dengan V bombernya, dan tentu Rusia sendiri. Khusus untuk Tu-16, selain
Indonesia juga dioperasikan oleh Mesir.
Untuk
saat itu, keberadaan Tu16 memang cukup menakutkan. Dengan jangkauan
terbang hingga 7.200 km, kecepatan mencapai 1.050 km per jam, dan
ketinggian terbang hingga 12.800 km, wajar saja AURI sangat disegani.
Apalagi muatan born yang bisa dibawa mencapai 9.000 kg. Ketika itu Tu16
dibeli untuk menutupi kemampuan B-25 yang sangat terbatas, disamping
tentu embargo suku cadang dari AS. Saat itu AURI mengoperasikan Tu-16 di
bawah kendali Wing Operasi 003. Wing ini membawahi Skadron 31 dengan
kekuatan 14 Tu-16 Badger A sebagai skadron pembom strategis, dan Skadron
42 dengan 12 Tu-16 Badger B KS sebagai skadron peluru kendali udara ke
darat.
“Tu-16
masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes
Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di
pengujung tahun 1950-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk
meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia,
AURI ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. Mungkin bosan
dikuntit terus, Zhukov melaporkan keinginan BK kepada Menlu Rusia
Mikoyan. Usut punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol
Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (Suryadarma)
menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan.”
Ketika
ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun yang saat itu Sekretaris Dewan
Penerbangan/ Sekretaris Gabungan Kepalakepala Staf kepada Suryadarma
pada tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk
menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua
tersentak. AURI tidak punya pembom strategis. B-25 yang dikerahkan
menghadapi AUREV (AU Permesta) malah merepotkan. Karena daya jelajahnya
terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus
diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi,
AS mengembargo suku cadangnya Alhasil, gagasan memilild Tu-16 semakin
terbuka.
Salatun
yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957,
menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa
terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan
kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana
pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu
menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana
pembelian Tu-16, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, turut
diperpanjang.
Proses
pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, barn terealisasi 1
Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Saat lobi
pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, China pernah dilirik agar
membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, China diminta menalangi
dulu pembeliannya. Usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan
China-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya malah China menawarkan Tu-4M Bull.
Misi Salatun ke China sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan
P-51 Mustang. Pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukanlah semata alat
diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata. Padahal di saat
bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk
menghantam AUREV.
Tahun
1960, Salatun berangkat ke Moskwa bersama delegasi pembelian senjata
dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai tiba di Moskwa, delegasi belum
tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang
disetujui Soviet. Perintah BK hanya cari senjata. Apa yang terjadi.
Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet.
Betapa kagetnya delegasi.
“Karena
Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan
juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu,
Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom
strategic selain Amerika, Inggris, dan Rusia sendiri. Hebatnya lagi,
AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu16 dengan Anti
Radiation Paint yaitu cat khusus antiradiasi bagi pesawat pembom
berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya born
nuklir,” tutur Salatun. Usul ditolak.
Segera
AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan
Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan
Ciptoning II. Mulai 1 Juli 1961, ke24 Tu-16 mulai datang bergiliran
diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama M-1601 yang
mendarat di Kemayoran diterbangkan oleh Komodor Udara Cok Suroso Hurip.
Peristiwa ini mendapat perhatian luas terutama dan kalangan intel AS.
Kesempatan
pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dan dekat ini, memberikan
kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya
jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan
ke Madiun. Pesawat intai canggih saat itu U-2 Dragon Lady pun
dilibatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan
Tu16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat Blok Timur lainnya
berjejer di Madiun.
Persiapan Trikora
Saat
Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada
“puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI
berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan Selatan. Dalam mendukung
Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya
memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,”
ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali
terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak
senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya. Saat itu, dikalangan pilot
Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel
Doorman.
Selain
memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41,
AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42
Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal
antikapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti
Belanda. Hantaman enam Kennel mampu menenggelamkan Karel Doorman:
Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif
pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan.
Lain
lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio
sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Mei 1962, saat perundingan
RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak
Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka
memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan
gagal, langsung born Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu,
apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah
yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas
sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket
operation.
Awak
Tu-16 di Morotai ini tidak akan pernah melupakan jerih payah ground
crew. “Paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah Tu-16
dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai
pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah
laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus.
Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke
tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih
menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat
hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di Morotai, sebelum akhirnya
ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
Kennel
memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar
tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah
laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,”
aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro
mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai
peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan
menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat
perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih
tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan Tu-16. Apa
pasalnya? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur
Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia
Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi
mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah
Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.
Damanik
menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik
terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi
kampanye Dwikora.
Pesawat
diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua
mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah
seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang.
Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka,
begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat
sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya
berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau
Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan
semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap
mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan
Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang
ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam
keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat
ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi,
Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar
cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam
kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya.
Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak
menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang
menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Segenap
awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner).
Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G
yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat
saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya
terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat
oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain
lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan
lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora.
Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas
(kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke
Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat
Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina
selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang
nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau
terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK
memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau
pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya
bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar
perbatasan.
Misi ala stealth
Masih
dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi
bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu
pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan.
Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke
Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn)
Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa
perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang
itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua),
untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu.
“Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal
Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk
memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal
Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Walau
begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun
sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak
komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam
dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner Tu-16 yang
baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia.
Briefing
berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat
terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus
Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat
pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat
Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo
berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi.
“Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.
Penyusupan
ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel
Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12
malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka
tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat
terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang
bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar
disedot angin yang berhembus kencang.
Usai
satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata
sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono.
Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara
mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet
diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat
pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua
Tu-16 kembali dengan selamat.
Dapat
dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan
operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah
sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Sebenarnya
RI tidak sendirian saat itu. India memberikan dukungan penuh. Hal ini
terungkap ketika Zainal Sudarmadji bertemu dengan seorang pejabat tinggi
India. “Bila Indonesia jadi menyerang semenanjung Malaya, AU India akan
menyediakan air space-nya antara ketinggian 15.000 -30.000 kaki untuk
tempat berputar armada Tu-16 AURI sebelum melakukan pemboman. Bahkan AU
India akan menjaga sekitar indara point di kepulauan Andaman Nicobar,
agar bebas dari gangguan elektronik Inggris (SEATO),” tuturnya saat itu
kepada Zainal.
Nasib Sang Bomber
Sungguh
ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih
banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! “AURI harus menghapus
seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T
-Bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang
mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika
terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak
dapat dipungkiri, Tu-16 paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi
peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak
mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las
yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan
mesinnya, las pun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak
ketimbang aluminium,” ujar Bagio.
Namun
Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa
tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil
secara kanibal sekalipun. “Kami terpaksa memakai sistem kerajinan
tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah
kaca), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang
juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang
dan Kemayoran. Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok
dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat.
Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora-Dwikora dan di
sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah
bermaksud menjual armada Tu-16 ke Mesir.
Namun
pasca G30S, kondisi pesawat-pesawat Rusia memang tragis. Seingat
Suwandi Sudjono, pilot Tu-16, dalam setahun paling hanya 12 kali mereka
menerbangkan Tu-16. Karena itu kanibalisasi tak terelakkan agar
sejumlah pesawat tetap bisa terbang. Akhirnya pada Oktober 1970
dilakukan test flight Tu-16 nomor M-1625 setelah dikanibal
habis-habisan. Tidak mudah karena adanya ketidakOckan suku cadang.
Namun mereka masih berbesar hati karena menurut Subagyo yang mantan
Komandan Wing Logistik 040, mesinnya masih banyak. Setidaknya ada 20
mesin baru, tapi hanya mesin, tanpa suku cadang yang lainnya.
Maka
hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Pnb
Suwandi membawa krunya yaitu Kapten Pnb Rahmat Somadinata (kopilot),
dan Kapten Nav Beny Subyanto menerbangkan M-1625. Pada hari itu, M-1625
adalah satu-satunya Tu-16 yang tersisa dan dalam kondisi siap terbang.
Sungguh tragis!
Begitulah
nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya,
dirayakan oleh para awak Tu-16 pada Oktober 1970 menjelang HUT ABRI.
Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke
Jakarta. “Sempat kesasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji.
Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja
mengerem secara mendadak.
Patut
diakui, keberadaan pemborn strategic mampu memberikan efek psikologis
bagi lawanlawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan
1980-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Wong nama saya
masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay,” ujar
Sudjijantono, angkatan Cakra 1.
Sekian
tahun hidup dalam kedigdayaan, sampailah AURI (juga ALRI) pada masa
yang teramat pahit. Pasokan suku cadang terhenti, nasib pesawat tak
jelas. Ditulis oleh Harold Crouch (Politik dan Militer di Indonesia,
1978), AL dan AU yang bergantung pada teknologi yang lebih maju dari AD
tidak dapat memelihara lagi dengan baik peralatannya.
Pada
awal 1970, KSAU Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan, hanya 15-20%
pesawat AURI yang dapat diterbangkan, kapal ALRI hanya 40% karena
ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian dikenang
sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur.
Blue Print dari AS-1 Kennel
AS-1 Kennel di sayap pembom Tu-16 TNI AU
Kennel (Rudal Bongsor Yang Membuat Pusing Belanda & Sekutunya)
Jauh sebelum era
Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, TNI di tahun 60-an sudah mempunyai
rudal lintas cakrawala, alias over the horizon. Rudal yang dimaksud
adalah AS-1 Kennel. Rudal ini terbilang fenomenal saat itu dan
kenangannya masih cukup menarik untuk disimak hingga saat ini, pasalnya
ukuran rudal jelajah ini super bongsor dan sampai kini cuma Indonesia,
negara di kawasan Asia Tenggara yang punya riwayat mengoperasikan rudal
yang masuk kategori heavy missile tersebut. Walau teknologi dan
platformnya ketinggalan jauh dengan rudal Tomahawk milik AS, tapi saat
operasi Trikora dikobarkan Ir. Soekarno, daya deteren Kennel nyatanya
mampu membuat pusing pihak Belanda, Amerika Serikat dan NATO.
AS-1 Kennel
(dalam kode aslinya dari Uni Soviet disebut KS-1 Komet) merupakan rudal
antikapal permukaan yang diproduksi Uni Soviet pada 1953 dengan basis
konstruksi pesawat MIG-15 dan MIG-17. Rudal yang disiapkan untuk
dibopong bomber strategis Tupolev Tu-16 Badger B ini dibuat setelah
desakan AL Uni Soviet kala itu untuk memiliki rudal jelajah antikapal.
Tu-16 mampu membawa sekaligus dua rudal seberat lebih dari 3 ton ini di
kedua sayapnya. AS-1 yang berkecepatan sub sonic ditenagai mesin
turbojet yang mampu membuatnya mampu menjangkau sasaran sejauh 100 km.
Dengan bobot
sekitar 3 ton, AS-1 dibekali hulu ledak seberat 600 Kg High Explosive.
Tak ayal dengan daya hantam yang menakutkan membuat kala konflik
Indonesia vs Belanda, rudal ini menjadi salah satu alutsista TNI yang
sangat diperhitungkan oleh militer Belanda. Bahkan beberapa analis
menyatakan, kapal induk kebanggaan Belanda yang kala itu ikut mangkal
diperairan Irian (HNLMS Karel Doorman) dapat dihancurkan dengan dua
hantaman rudal Kennel.
AS-1 dirancang
oleh A. Ya Bereznyak dari Mikoyan’s di kota Dhubna, Uni Soviet. Cara
kerja rudal ini adalah setelah operator memprogram autopilotnya untuk
diluncurkan dan menanjak dan menggunakan radar semiaktif untuk sistem
terminal flight. Rudal ini diperkirakan mulai operasional pada sekitar
tahun 1961. Sayang tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah Kennel
yang dibeli oleh Indonesia. Tapi bila sekedar ingin melihat sosok rudal
ber-air intake ini bisa dijumpai di Museum Dirgantara Yogyakarta.
AS-1 Kennel
sendiri umurnya tak terlalu panjang, Uni Soviet hanya mengoperasikan
rudal ini dalam rentang 1955 sampai 1961. Seiring hangat-hangatnya lomba
senjata dalam Perang Dingin, pihak Uni Soviet lalu mengembangkan rudal
lain dalam platform Kennel, yakni masing-masing SSC-2a Salish dan SSC-2b
Samlet. Jika Salish diluncurkan dari kendaraan semitrailer yang menarik
truk traktor peluncur KrAz-214, maka Samlet adalah rudal pantai yang
diluncurkan dari truk ZIL-157V. Secara umum AS-1 yang selintas nyaris
sebesar MIG-15 memiliki panjang 8,2 meter (MIG : 10,11 m), rentang sayap
4,9 meter dan kecepatan 0,9 mach. Sejauh ini yang diketahui
mengoperasikan selain Uni Soviet (Rusia) adalah Indonesia dan Mesir.
Spesifikasi AS-1 Kennel
Kode soviet : KS-1 Komet
Propulsi : turbojet
Pemandu : terminal active radar terminal homing
Hulu ledak : 600 kg HE
Penggerak : RD-500K turbojet
Jangkauan : 140 km
Berat lontar : 3000 kg
Panjang : 8,29 meter
Diameter : 1,20 meter
Pabrik : Mikoyan
Platform : Tu-16 Badger
C 140 Jetstar
Pesawat Kepresidenan RI semasa Soekarno hadiah dari JF Kennedy
Mi 4
Alutsista
dari blok timur hampir semua dijagal, trus potongan2nya dibawa ke
amrik sebagai syarat pembelian pembelian pesawat T-33 thunderbird. Mi-6
sekarang kita cuman bisa liat fotonya doank, nyaris tanpa sisa utk
heli satu ini
Mi 6
Menurut
kesaksian para pilot yang pernah mengoperasikan helikopter Mil Mi-6
Hook ini, banyak kelemahan teknis yang tidak sesuai dengan yang
ditawarkan Uni Soviet seperti kecepatan jelajah yang hanya menjapai
170-175 km/jam, tidak sampai 200 km/jam. Jarak terbangnya yang pendek
karena bahan bakarnya hanya cukup untuk 2 jam terbang sehingga kalau
pergi ke suatu tempat harus dapat mendarat karena tidak mungkin kembali.
Terbang jelajah yang pernah diperoleh maksimum adalah 2 jam 54 menit
yakni dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung hingga Tanjung Perak di
Surabaya, itupun dengan muatan yang tidak terlalu penuh.
Sikorsky UH-34D Seahorse
PZL 104 Wilga ( Gelatik )
PZL
104 Wilga atau Gelatik (anama lokalnya) mualai dipakai TNI AU tahun
1964. 22 buah langsung dikirim langsung dari Polandia dan 17 buah
diproduksi secara local di Bandung. Pengiriman terakhir bulan Oktober
1979. Saat ini ada beberapa yang masih digunakan oleh FASI untuk
penarik pesawat terbang layang (glider).
LT 200
IN-202 modifikasi dari Pazmany PL-2, dibuat oleh perintis dari IPTN yaitu Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio)
Starlite
Sejumlah
T-33 yang masih dengan warna asli putih dan baru saja dikirim dari
Pangkalan Udara Subic, Filipina. Sebanyak 19 unit T-33 diterbangkan dari
Subic menuju Lanud Iswahyudi oleh pilot-pilot USAF.
Suasana
apel kesiagaan para pilot dan awak darat T-33 di Lanud Iswahyudi.
Khusus pesawat untuk latihan, T-33 tetap menggunakan warna putih.
Khusus untuk T-33 yang telah dipersenjatai di cat warna hijau dengan logo ikan hiu di nose-nya.
Sejumlah T-33 yang dioperasikan dalam misi tempur sedang dipersiapkan di Lanud, Baucau , Timor Leste.
T 33 A T-Bird
T-33A (Awalnya Bukan Pesawat Tempur)
Introduction
Kedatangan
pesawat T-33A ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan pesawat F-86
Avon Sabre dari Australia di tahun 1973. Dengan demikian fasilitas yang
dibangun di Madiun berupa renovasi sarana bantuan penerbangan juga
dipakai buat pesawat T-33A yaitu overlay landasan, pembangunan
pergudangan dan pembangunan fasilitas pengisian bahan bakar. Konsep
awalnya pesawat T-33A direncanakan untuk mengganti pesawat L-29 Dolphin,
sehingga waktu datang pesawat ini berwarna abu-abu dengan cincin kuning
sertafinflash yang juga kuning layaknya pesawat yang dioperasikan oleh
Kodikau.
Awalnya
masuk Skadik 017 (Advance Training) dengan home base di Lanuma
Iswahyudi, Madiun dengan registrasi A-3301. Satu tahun berikut tepatnya
tanggal 3 Mei 1974 pesawat diserahkan ke Kohanudnas dengan demikian
registrasi menjadi J-3301 lalu menjadi TS-3301 setelah semua registrasi
pesawat militer di Indonesia. Pesawat yang datang dalam kegiatan
bersandi Peace Modern Project ini adalah program dari Amerika guna
membantu mempertahankan kualitas pilot tempur Indonesia yang menurun
kemampuannya setelah dikandangkannya pesawat Blok Timur pada tahun 1966.
Untuk itu terpilih enam pilot dan dua perwira teknik yang belajar ke
Amerika (Lachland AFB dan Cloves AFB) guna menangani pesawat T-33A
T-Birds. Sedang teknisi dipercayakan kepada Kapten TPT Utih dan Lettu
TPT Subagyo Sutomo.
Mereka
para teknisi mendapat pelatihan yang cukup lengkap, setelah sekolah
bahasa di Lackland AFB bersama para pilot langsung dikirim ke Chanute
AFB, Ilinois untuk belajar Aircraft Maintenance Officer Course (AMOC)
selama enam bulan. Program selanjutnya dua perwira TNI AU tersebut
melanjutkan sekolah di Shepard AFB, Kansas, dalam program yang disebut
Technician Instructional Course dan berakhir di Cannon MB, New Mexico,
selama dua bulan lalu On the Job Training (OJT) di pesawat T-33A yang
berada di pangkalan Cannon AFB juga. Sedangkan ke 12 teknisi Bintara dan
Tamtama setelah belajar bahasa Inggris teknik di Lack-land langsung
bergabung dengan dua perwira di Cannon AFB untuk melaksanakan OJT.
Sedangkan pesawatnya sendiri diambilkan dari military-stock Amerika di
Subic, Filipina. Kemampuan lebih inilah yang nanti dimanfaatkan oleh TNI
AU guna melaksanakan program yang disebut Modification A/C Structure
Program Reinforcement tahun 1975 yaitu penggantian wing rod spar
dilaksanakan di Depolog-30, Malang.
Terbang dari Filipina
Secara
bergelombang pesawat diterbangkan dari Subic langsung ke Madiun oleh
para pilot AU AS dalam empat gelombang pengiriman. Gelombang pertama
tiba di Madiun pada tanggal 17 Apri1 (lima pesawat), gelombang kedua
tiba tanggal 1 Juni (lima pesawat), gelombang ketiga tanggal 15 Juni
(lima pesawat) dan gelombang terakhir pada tanggal 22 Juni (empat
pesawat) semua terjadi pada tahun 1973. Setelah lengkap 19 unit pesawat
T-33 tiba di Madiun, pada tanggal 23 Agustus 1973 diadakan penyerahan
dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh
Jenderal TNI Pangabean yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan
merangkap sebagai Panglima ABRI.
Selanjutnya
dimasukkan ke dalam Skadik 017 dan menempati hanggar eks Skadron-42
(hangar F-16 saat ini) dengan komandan Mayor Pnb Isbandi Gondosuwignjo
sehingga berhak memakai call sign Thunder-01 meskipun beliau aslinya
adalah Thunder-08. Sehari setelah dilantik sebagai Komandan Skadik 017
hari berikutnya tanggal 4 Mei 1974 pesawat T-33A masuk alam jajaran
Kohanudnas dan dinamakan Satuan Buru Sergap T-33A berdampingan dengan
Satuan Buru Sergap F-86 di bawah satuan organik Kohanudnas yaitu Komando
Satuan Buru Sergap disingkat Kosatsergap. Mayor Pnb Isbandi tetap
menjadi komandan Satsergap T-33.
Modifikasi Swadaya
Meskipun
bernama Peace Modern Project, ternyata pesawat T-33A adalah pesawat
yang betul-betul payah kondisinya. Selain tidak bersenjata, pesawat ini
masih menggunakan radio UHF (model militer Amerika) serta adanya batasan
manuver yang hanya plus 3G, betul-betul pesawat latih jet yang tidak
bisa dibuat manuver sama sekali. Berkat kajian dari Kolog (Komando
Logistik, kini Koharmatau) maka oleh Depolog-30, Malang, diadakan
penguatan pada wing rod spar sehingga pesawat dapat melakukan full
maneuver hingga plus 7g serta radio yang diubah menjadi VHF, standar
komunikasi pesawat di Indonesia. Kegiatan peningkatan kemampuan ini
dilakukan para teknisi yang sekolah di Amerika, dibantu tujuh personel
AU AS yang bertindak sebagai Technician Representative atau lebih
dikenal dengan sebutan Techrep.
Dengan
kemampuan ini maka para pilot T-33 mulai melakukan latihan air-to-air
maneuver sebagai dasar manuver pesawat Kohanudnas dan mengantar pesawat
ini dilibatkan pada Latma (Latihan Bersama) bersandi Elang Malindo 1
yang diadakan di Butterworth, Malaysia. Meskipun pesawat F-86 dari
satuan Satsergap F-86 juga ikut Latma Elang Malindo 1 namun pesawat ini
hanya sampai Medan. Dengan demikian pesawat T-33 adalah pesawat ternpur
pertama milik TNI AU yang terbang dan berlatih hingga ke luar negeri.
Beberapa tahun yang lalu juga ada saat pesawat latih jet L-29 terbang
navigasi hingga Butterworth, mengingat ada siswa Malaysia ikut menjadi
siswa sekolah terbang di Indonesia.
Selepas
Elang Malindo 1, T-Birds juga dilibatkan dalam latihan bersandi Tutukal
pada akhir 1975 disusul operasi bersandi Cakar Garuda medio 1976. Untuk
mendukung operasi ini beberapa pesawat T-33A dimodifikasi oleh tim
Dislitbangau dan dilengkapi dengan gun-sight tipe KB-13 (eks Ilyusin-28)
serta dua laras senjata kaliber 12,7 mm dan dua buah bomb rack eks
B-25. Dengan demikian pesawat T-33A menjadi pesawat tempur bersenjata
tipe TA-33A. Untuk membedakan antara pesawat yang bersenjata (TA-33A)
dengan pesawat tanpa senjata (T-33A) maka diadakan perubahan warna
pesawat. Untuk TA-33A diberi warna hijau abu-abu dengan gigi hiu di
bagian depan sedangkan T-33A tetap berwarna abu-abu. Kegiatan
mempersenjatai diri ini dilakukan tanpa bantuan pihak asing dan eloknya
peralatan bidik (gun-sight) mempergunakan produk Timur yaitu gun sight
bekas pesawat Ilyusin-28.
Setelah
diadakan modifikasi persenjataan pesawat TA-33A mampu membawa amunisi
sebanyak 250 x 2 butir peluru 12,7 mm dan dua tabung rocket launcher
jenis LAU (Launcher Airborne Rocket) – 68 yang dapat diisi tujuh rocket
jenis FFAR 2,75 inci (Folding Fin Airborne Rocket) atau bom hingga berat
50 kg setiap sayapnya. Selanjutnya pesawat T-Birds dilibatkan lagi pada
Latma Elang Malindo 2 dengan Malaysia yang diadakan di Madiun pada
tahun 1977.
Dalam
latihan bersama ini T-Birds adu kekuatan dengan pesawat latih Malaysia
jenis CL-41G Tebuan dan diadakan exchange crew antara dua negara.
Bermakna selama latihan antara pilot TNI AU dengan pilot TUDM berada
dalam satu kokpit. Bulan Oktober 1979 Satsergap T-33 dilebur menjadi
Skadron T-33, sedangkan Satsergap F-86 menjadi Skuadron F-86. Keduanya
berada di bawah Wing Tempur 300 Kohanudnas. Setahun berikutnya nama itu
diubah lagi menjadi Skadron Operasional T-33. Pesawat T-Birds dinyatakan
non operasional pasca jatuhnya pesawat registrasi TS-33xx di kota
Blitar pada 20 Juni 1980 bertepatan dengan diadakannya latma Elang
Indopura 1 di Madiun. Selama dioperasikan TNI AU selama tujuh tahun
(1973 – 1980) telah gugur enam pilot dalam tiga kecelakaan yang
terpisah.
Salah
satu kecelakaan yang menyebabkan dua penerbang T-33 gugur adalah
kecelakaan yang terjadi pada tanggal 18 Februari 1976. Saat itu pesawat
T-33 dengan nomor regristasi J-3327 jatuh di kaki Gunung Lawu yang
mengakibatkan gugurnya dua penerbang Mayor PNB Sukirwan dan Lettu PNB
Sutadi. Sedangkan pilot T-33 yang meninggal karena sakit adalah Letty
PNB Kukky.
Foto
F-86 Sabre bawah adalah profil F-86 yang akan diterbangkan menuju Lanud
lswahyudi. Bendera Merah Putih dan logo TNI AU sudah terpasang dan
pesawat pun dalam kondisi slap tinggal landas.
Pada
9 April 1973, Indonesia mendapat hibah pesawat tempur F-86 Sabre dari
Australia. Pesawat-pesawat ini kemudian melahirkan penerbang-penerbang
tangguh TNI AU. Dalam Coto di bawah ini, berdiri dari kiri ke kanan:
Suyamto, Anggoro, Iowan Saleh, Tri Soeharto, FX Suyitno, Boediardjo.
Sementara berjongkok, dari kiri ke kanan: Sulaiman Supriyatna, Sutejo,
Holky Bk, Donan Sunanto dan Sudahlan.
Foto ketika
Panglima ABRI M Panggabean bersama pejabat Australia melaksanakan
inspeksi terhadap F-86 yang sudah terkirim ke Indonesia.
Empat pilot F-86 Sabre sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan latihan terbang di Lanud Iswahyudi.
Sejumlah F-86 saat sedang latihan terbang.
Formasi
lima F-86 yang sedang terbang di alas Bandara Polonia Medan dan
melintas di atas Boeing 707 Garuda. Sejumlah F-86 sedang melaksanakan
terbang cross countrydan salah satu yang disinggahi adalah Bandara
Polonia Medan.
Setelah
memperkuat jajaran TNI AU, F-86 mulai diperkenalkan kepada
perwira-perwira muda yang saat itu masih menjalami pendidikan di Akademi
Militer, Magelang. Dua penerbang yang berada disamping F-86 adalah Ida
Bagus Sanubari (merapat di pesawat) dan F Djoko Poerwoko.
CAC F 86 Avon Sabre
F-86 Sabre (Salah Satu Pioner Pesawat Modern)
Introduction
Di dunia ini
hanya ada 112 unit pesawat F-86 Avon Sabre, 23 di antaranya berada di
Indonesia pasca dihibahkannya jenis pesawat ini kepada TNI AU pada awal
tahun 1973. Ke-23 pesawat datang dalam program yang disebut Garuda
Bangkit yaitu mendatangkan 18 unit pesawat F-86 Avon Sabre yang datang
pada tahun 1973 dalam dua gelombang pengiriman dan lima unit F-86
datang pada tahun 1976 dari TUDM (Tentara Udara Diraja Malaysia) yang
tadinya dioperasikan oleh Skuadron Udara-11 bermarkas di Butterworth.
MIG Killer
F-86 Sabre adalah
pesawat legendaris, terkenal sejak Perang Korea dan mendapat sebutan
MiG-Killer karena berhasil merontokkan 792 pesawat MiG-15 dalam 900
kali pertempuran udara dan “hanya” kehilangan 78 unit. Bila ini benar
maka kill ratio pesawat F-86 terhadap MiG-15 adalah 10 : 1, angka yang
fantastic. Meskipun dokumen Rusia menyebut bahwa mereka berhasil
merontokkan 650 Sabre di udara dan diakui Amerika “hanya” 224 pesawat,
terpenting bahwa pesawat F-86 Sabre memang dirancang sebagai pesawat
tempur untuk keunggulan di udara.
Dengan
berakhirnya Perang Dunia II hampir tidak ada perlombaan senjata, semua
pihak masih menyesal dengan perbuatan masing-masing selama perang.
Sementara itu dunia penerbangan makin maju sebagai dampak pengalaman
selama perang, sehingga nantinya tercipta sebuah pesawat tempur yang
kecil, lincah, tidak boros bahan bakar, dioperasikan seorang pilot dan
mampu menyergap musuh dengan kecepatan tinggi. Pihak Barat dalam hal ini
Amerika menelurkan pesawat yang disebut F-86 Sabre dan pihak Timur
dalam hal ini Rusia menghasilkan pesawat yang disebut MiG-15. Sepasang
`anak kembar” inilah yang nanti akan bertemu dalam duel udara di atas
Korea.
Edgar Schmued
berhasil merancang pesawat yang dipersyaratkan oleh AU AS, maka
lahirlah pesawat F-86 Sabre yang terbang perdana pada tanggal 1 Oktober
1947. Pesawat lincah yang ditenagai dengan mesin jet trial dan hanya
diawaki seorang Pilot ini mampu melesat terbang mendekati kecepatan
suara dengan struktur yang telah dirancang untuk penerbangan supersonik
Untuk itulah ekor pesawat telah mengadopsi rancang bangun mutakhir serta
adanya horizontal stabilizer yang mempunyai satu kesatuan – bertolak
belakang dengan stabilizer pesawat terdahulu. Dengan penemuan baru ini
masalah kontrol dapat teratasi dan pesawat dapat terbang melebihi
kecepatan suara, karena pilot saat menggerakkan stick control semua
bagian stabilizer akan bergerak. Namun teknologi permesinan belum mampu
mengatasi, sehingga pesawat F-86 hanya dapat terbang supersonik dengan
cara terbang dive pada sudut antara 70 hingga 90 derajat mengarah ke
bawah.
Tiga prototipe
telah dibuat untuk uji terbang statis dan dinamis, sayang pesawat
pertama jatuh terbakar setelah terbang 241 kali. Sedang prototipe kedua
dan ketiga terus diuji coba hingga tahun 1953 agar mendapat pesawat yang
diinginkan para pilot yaitu sebuah pesawat tempur kecil, lincah dan
bertenaga. Setelah dilaksanakan serangkaian uji terbang akhirnya
tercipta pesawat yang diberi registrasi F-86 dengan enam senjata
kaliber 12,7 mm (Browning M3 .50 inci) masing-masing dengan 300 butir
peluru. Meskipun masih dilengkapi dengan alat bidik manual (manual
ranging computing gun sight) jenis Mark-18, pesawat yang mmpu terbang
pada ketinggian 35.000 kaki ini merupakan pesawat terhebat di zamannya.
Tidak heran banyak angkatan udara ingin memiliki pesawat ini. Bahkan
beberapa negara ingin memproduksinya. Antara lain adalah pabrikan
Commonwealth Aircraft Corporations di Fisherman’s Bend, Melbourne,
Australia, mendapat lisensi yang nanti hasil produksinya diberi label
F-86 Avon Sabre (diproduksi 112 unit). Sedang Kanada dengan label CL‑13
Sabre (diproduksi 1.813 unit) dan Amerika tetap memakai label North
American F-86 Sabre.
Efek Perang Korea
Dampak Perang
Korea, permintaan pesawat F-86 dari luar negeri melesat tajam. Negara
pertama yang berhasil mendapatkannya adalah Taiwan. Sebanyak 160 unit
F-86F-1-NA dikirim ke Taiwan periode 1954 hingga 1956. Belakangan pada
tahun 1958 dikirim lagi 320 unit F-86 dan tujuh unit tipe RF-86F dari
surplus AU AS dan 135 unit lagi yang kesemuanya di upgrade menjadi
F-86F-40. Tahun 1954 Kongres Amerika menyetujui pengiriman pesawat jenis
ini ke Jepang guna membangun pasukan bela diri Jepang yang kemampuannya
dikebiri akibat kalah perang. Awalnya terkirim68 unit T-33 dan 54 unit
F-86 Sabre, belakangan dikirim lagi 135 unit dimana sebagian dirakit
oleh Mitsubishi. Kemampuan merakit inilah nantinya menjadikan
Mitsubishi mampu membuat sendiri 300 unit F-86F di bawah pengawasan
Amerika. Hingga tahun 1957 tulang punggung kekuatan udara Nihun Koku
Jeitei ditopang oleh F-86F Sabre.
Saking lakunya
pesawat ini, beberapa negara termasuk Indonesia hanya mendapat pesawat
bekas pakai. Indonesia mendapat dari Australia dan Malaysia padahal
Malaysia sendiri mendapat pesawat bekas dari Australia. Negara penerima
pesawat F-86 bekas pakai lainnya adalah Venezuela yang mendapat bekas
dari Argentina dan juga Jerman; Saudi Arabia dan Portugal dari Norwegia;
Bangladesh dari Pakistan; dan Tunisia dari Amerika. Selain tampil
sebagai pesawat andal dalam medan perang, pesawat yang lincah ini juga
dipakai sebagai pesawat andalan tim aerobatik angkatan udara di
antaranya Thunderbirds (USAF), Golden Eagle (Canada), Black Panther, Red
Diamonds, Black Diamonds, 78 Wing Sabre Team, 3 Squadron Team dan
Markerman (Australia), Blue Impuls (Jepang) dan tentunya TNI AU dengan
tim aerobatik yang dinamakan Spirit-78. Kesemua tim aerobatik
memanfaatkan kelincahan F-86 dan kemampuan manuver pada ketinggian
rendah yang dapat disajikan secara spektakuler. Kemampuan untuk terbang
invertel selama 12 detik juga merupakan salah satu sajian semua tim
aerobatik yang mengunakan pesawat ini.
Kekuatan udara Indonesia
Pesawat F-86 Avon
Sabre yang dioperasikan TNI AU sejak tahun 1973 akhirnya dikandangkan
pasca tragedi jatuhnya pesawat TS-8620 dengan menewaskan pilotnya yaitu
Mayor Pnb Budiardjo Soerono. Peristiwa tanggal 30 Oktober 1980 ini
menutup lembar sejarah keperkasaan sang Sabre yang sempat menjadi
perangkat tim aerobatik Spirit-78 di masa jayanya. Kemampuan sang Sabre
masih dapat ditampilkan para pilot muda pimpinan Mayor Budiardjo saat
mengikuti hari ABRI tanggal 5 Oktober 1980 di Jagorawi dengan
menampilkan manuver yang spektakuler, lebih spektakuler lagi karena
semua anggota tim adalah para pilot siswa konversi yang belum
menyelesaikan pendidikan. Berkat leader yang baik para siswa mampu
mengikuti manuver yang sulit sambil fly pass, antara lain dengan
melakukan trill in roll, wing over dan clover leaf in box. Meskipun
hanya dengan empat pesawat, “penampilan terakhir” F-86 di hadapan
publik ini memancing decak kagum.
Kini kita masih
dapat melihat sisa-sisa pesawat F-86 Avon Sabre yang dulunya
dioperasikan di Skadron Udara 14 menggantikan keberadaan pesawat MiG-21
yang dikandangkan tahun 1966. Sejumlah pesawat F-86 registrasi TNI AU
kini masih dapat dilihat di museum di Indonesia dan juga yang dijadikan
monumen. Sedang sisanya semua diborong ke Amerika oleh perusahaan Aero
Trader yang memenangkan tender pembelian pesawat F-86 (bekas) pada tahun
1989. Pesawat-pesawat tersebut saat ini tersimpan di Ocotillo, Wells.
Meskipun cuma dioperasikan selama tujuh tahun (1973 -1980) pesawat ini
telah mengubah cara pandang pilot tempur Indonesia dalam mengelola serta
merawat sebuah skadron udara.
Diawali dengan
pengiriman sejumlah teknisi ke Australia pada tanggal 30 Mei 1972 maka
operasi bersandi Garuda Bangkit secara resmi diberlakukan. Operasi ini
dipimpin oleh Pangkohanudnas (Marsekal Muda TNI Iskandar) guna menerima
satu skadron plus pesawat bekas pakai yaitu F-86 Avon Sabre. Selanjutnya
gelombang kedua diberangkatkan dan terakhir 12 pilot menutup
pengiriman personel TNI AU ke Australia. Mereka belajar di
Williamstown RAAF Base, Sydney, tempat dimana skadron Sabre berada.
Sayang dua pilot
dikembalikan dan tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Hal ini
disebabkan karena pilot yang dikirim adalah mantan pilot MiG yang telah
tujuh tahun tidak terbang di pesawat tempur, meskipun sebelumnya telah
diterbangkan lagi dengan pesawat L-29 di Indonesia untuk mengembalikan
feeling sebagai pilot tempur. Lagi pula pesawat F-86 memang tidak ada
yang bertempat duduk ganda sehingga harus langsung terbang solo. Namun
begitu sesuai dengan silabus pendidikan RAAF para pilot harus terbang
dulu di pesawat jet dual control type Aermachi milik RAAF yang dipakai
sebagai pesawat OCU. Pola yang sama nantinya diterapkan buat pendidikan
pilot Sabre di Indonesia, mereka harus terbang dan selesai mengikuti
pelatihan dengan pesawat T-33 yang dipakai sebagai pesawat pre-Sabre
transition.
Para teknisi TNI
AU kembali ke Indonesia dalam dua gelombang. Gelombang pertama terdiri
dari 64 teknisi dan gelombang kedua terdiri dari 49 teknisi diangkut
dengan pesawat C-130 milik RAAF. Pendaratan para teknisi di Lanuma
Iswahyudi akhir Desember 1972 sebagai persiapan kedatangan pesawat dan
persiapan gelar skadron tempur. Untuk itu Lanuma Iswahyudi dipersiapkan
dan dilengkapi dengan peralatan layaknya pangkalan operasional dengan
dibangunnya fasilitas pengisian bahan bakar, renovasi tower beserta alat
komunikasi, overlay landasan, dipasangnya barrier barricade, dibangun
laboratorium minyak dan dibangun fasilitas perumahan bagi para teknisi
Australia termasuk pembangunan mess yang kini dikenal dengan sebutan
Wisma Cumulus di Sarangan.
Dalam
keterbatasan prasarana ke-10 pilot Indonesia dapat terbang dengan
pesawat F-86 Sabre dan menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Akhirnya
pada awal tahun 1973 dibagi dalam dua gelombang diadakan feri pesawat
dengan rute Williamstown – Darwin – Denpasar – Iswahyudi. Untuk rute
Denpasar ke Iswahyudi, beberapa pilot TNI AU menerbangkan pesawatnya
sendiri. Terjadi kecelakaan ketika pesawat yang diterbangkan Lettu Pnb
Budiardjo keluar landasan saat proses lepas landas. Pesawat registrasi
F-8606 ini rusak cukup parah dan dikirim kembali ke Australia.
Belakangan pesawat yang aslinya berregistrasi A94-952 (serial number
CAC-199) dikirim ke Warbird Aviation Museum sebagai alat peraga
pelatihan teknisi avionik. Nantinya pihak RAAF mengganti pesawat yang
kecelakaan ini dengan pesawat registrasi A94-370 yang oleh TNI AU diberi
registrasi F-8617 dan datang pada bulan November 1973.
Titik Balik
Kedatangan
pesawat F-86 di Indonesia seolah merupakan titik awal kebangkitan
skadron tempur, selain kemampuan kombatan sebagai pilot tempur
diperkenalkan pula cara mengoperasikan, mendidik pilot dan teknisi serta
penyusunan silabus dan persiapan briefing bagi siapapun yang akan
memulai tugas di skadron udara. Saat itu para instruktur dari RAAF
mengajarkan pengelolaan skadron mulai dari pelaksanaan morning briefing
yang diikuti semua personel yang terlibat kegiatan, adanya weekly forum
dan bold face check bagi pilot dan teknisi yang secara rutin dilakukan.
Metode ini hingga kini tetap diberlakukan dan diadopsi oleh semua
skadron di TNI AU.
Pembuatan
Standard Operating Procedure, pembagian Training Area, kesiapan SAR
termasuk ketersediaan pesawat heli saat training dan pembuatan Air
Weapon Range juga limbah dari sentuhan personel RAAF yang bertugas
mendampingi para perwira TNI AU selama satu tahun dalam mempersiapkan
sebuah skadron udara. Dengan kelengkapan fasilitas latihan untuk skadron
udara maka Lanuma Iswahyudi ditetapkan sebagai pangkalan model – atau
model pangkalan buat TNI AU yang akan membangun dan mengembangkan sebuah
pangkalan udara. Nantinya semua pangkalan yang ada akan meniru Lanuma
Iswahyudi. Termasuk pangkalan yang dikembangkan kemudian yaitu Medan,
Pekanbaru, Makassar dan Kupang.
Sayang kemampuan
pemukul F-86 yang dioperasikan di Skadron Udara-14 tidak dapat
dipergunakan dalam operasi Seroja yang digelar di Timor Timur pada
Desember 1975. Berapa jam sebelum F-86 berangkat ke Bacau keluar
perintah untuk membatalkan operasi udara yang telah dipersiapkan lama,
dan akhirnya Operasi Cakar Garuda dibebankan pada Skuadron Udara dengan
pesawat T-33. Meskipun operasi Cakar Garuda terlambat beberapa bulan
menunggu proses untuk mempersenjatai pesawat T-33, namun operasi udara
dapat berjalan dengan baik sambil menunggu kedatangan peawat OV-10F yang
baru datang pada akhir tahun 1976.
Memang pesawat
F-86 tidak terlibat operasi bersenjata yang digelar TNI, namun
kehadiran pesawat Sabre telah mengangkat nama TNI AU saat tampil dalam
demo udara di Senayan tanggal 5 Oktober 1978. Dengan hanya persiapan
selama dua bulan Skadron Udara -14 berhasil menampilkan sebuah tim
aerobatik dengan 12 manuver yang spektakuler. Penampilan yang dilengkapi
dengan smoke trail apa adanya dengan mengisi salah satu tangki pesawat
dengan oh jenis 0M-11 sehingga asap berwarna putih dapat tersajikan.
Padahal untuk mengoperasikan asap ini salah satu switch di pesawat
yaitu landing gears light switch telah diubah fungsinya untuk menyalakan
lampu landing gears dan mematikan asap putih. Apresiasi buat tim
Dislitbangau yang telah menciptakan alat ini meskipun satu pesawat yaitu
F-8606 menjadi rusak flaps akibat korosi saat dicobakan asap berwarna
dengan menambahkan konsentrat pada bahan bakar pesawat.
Masuk museum
Selama tujuh
tahun dioperasikan, 38 pilot tempur TNI AU telah menerbangkan pesawat
ini dan menyandang predikat pilot kombatan. Pilot kombatan yang hebat
karena untuk terbang dengan pesawat ini sang siswa harus terbang solo
sejak awal – karena memang pesawat ini tidak ada jenis dual control.
Dari 38 pilot tempur hanya satu yang meninggal di pesawat (Mayor Pnb
Budiardjo Soerono) sementara tiga pilot telah menggunakan kursi lontar
dan selamat. Keempat pesawat yang mengalami kecelakaan dalam waktu
terpisah tersebut semua hancur. Sisa pesawat Sabre kini masih dapat
dilihat satu di Museum Dirgantara Mandala, satu di Wingdiktekal Lanud
Husein Sastranegara sebagai alat peraga dan delapan menjadi monumen di
berbagai kota. Dua dikembalikan ke Australia dan sisanya sebanyak tujuh
unit dibeli oleh sebuah perusahaan Amerika bernama Aero Trader pada
tahun 1989 dan dionggokkan di Actolio Wells sebagai besi tua.
Seusai Masa Bakti
Selama menjadi
alutsista di jajaran TNI AU, F-86 Sabre selain menjadi pesawat yang
menghantar para pilot untuk menjadi penerbang pesawat tempur moderen
juga berhasil menciptakan sejarah penerbangan tersendiri. Tapi setelah
puma tugas, sejumlah F-86 TNT AU itu pun di grounded. Sebagian dipajang
di sejurnlah tempat sebagai museum dan sebagian lagi dibeli oleh
perusahaan Aero Trader dari AS. Tak semua F-86 yang dipajang sebagai
museum terawat baik demikian juga yang dibawa ke AS. Sebagai saksi
sejarah penerbangan TNI AU, F-86 yang difungsikan sebagai museum
seharusnya dirawat dengan sebaik-baiknya.
Douglas A-4E Skyhawk (A4D-5)
Operasi Alpha "Ketika TNI-AU Melakukan Pembelian 32 Pesawat A4 Skyhawk Dari Israel"
“Mengecewakan!
Rencana terbang yang susah payah kususun rapi langsung dibatalkan
pagi-pagi. Aku mendapat perintah untuk menghadap komandan skadron. Yang
terpikir, aku tidak lulus latihan terbang di Israel dan pulang ke
Indonesia sebagai pilot pesakitan. Semua bayangan buruk musnah sudah.
Aku ternyata menerima perintah baru untuk terbang dalam format sama,
tetapi berbeda rute. Sebuah peta disodorkan lengkap dengan titik-titik
rute. Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu
dua belas menit harus kembali ke luar. Yang membuatku gugup, garis merah
itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Suriah”.
Cerita diatas adalah
sepenggal kisah dari seorang pilot yang tergabung dalam operasi alpha,
operasi alpha adalah operasi klandestin terbesar yang dilakukan oleh TNI
AU, dimana TNI AU melatih pilot dan melakukan pembelian 32 pesawat A-4
Skyhawk dari Israel. Berikut adalah kutipan tentang operasi alpha yang
diambil dari buku otobiografi Djoko F Poerwoko “Menari di Angkasa”.
Operasi Alpha
Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan
pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya
wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 dan T-33 memang sudah
tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus mencari negara produsen yang
bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat ternyata bisa
memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup
untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.
Dari penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan
berita, bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka
miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik.
Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus
diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi polemik
dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33.
Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah
sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua
proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo
yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk menghadirkan
pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan
personel. Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun
tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi Alpha dimulai dengan
memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang
teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh
penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai tim terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes
TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke
Amerika Serikat untuk belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih
sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau
“Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan
flight garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Kami mendarat pada senja hari di Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung
diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel tersebut ternyata telah
menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang
yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan. Kami akhirnya
mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukan ke
Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum
terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat
Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelojen ABRI, BAIS sekarang)
yang telah menunggu segera mengambil semua paspor yang kami miliki dan
mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku
semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu
kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam kesempatan
tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi
langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang
merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal,
negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami
tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain.
Misi ini hanya akan dianggap berhasil apabila sang merpati telah
hinggap…”
Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah
menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond. Bahkan sekalanya
lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk
ke Indonesia tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh
karena kami bersepuluh kemudian langsung berganti identitas yang mesti
kuhapal diluar kepala saat itu juga.
Setelah acara makan malam, kami harus segera bergegas menuju Bandara
Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747
Lufthansa. Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling
terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi
untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semakin aneh
perjalanan, baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba
seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel
Aviv pada penerbangan berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah
terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan
teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana
jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan,
sebagai bagian dari operasi intelijen. Kami langsung ditangkap dan
digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah, oleh karena memang
tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya manu
dengan hati berdebar.
Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasi Mossad
yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha
menyelundup masuk ke negaranya.Meski dengan sopan si Mossad
memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan
langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup.
Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai
diruang bawah tanah, persaan kami tenang setelah melihat para perwira
BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami
memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur
khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur
umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus
diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan
sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made
in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat
bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari
Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai
sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van
menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan,
kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang
pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah
pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat. Di Israel, pangkalan
tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan
bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di
hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai
kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh
karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang
di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para
penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina
terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang
diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur
israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan
kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat
kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4
sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak
sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa,
sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa
Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail.
Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada
para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat
tempur selama berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam
khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau
air to air. sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20
sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam
siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan
instruktur ku.
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh
beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian
sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF.
Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago didunia.
Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena
brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira
BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan
mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet,
peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya
berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka
hapalkan saja dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia,
namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian
diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami
sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel.
kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan
Satu.Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya
dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke
Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani
pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan
tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto.
Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong
sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran
foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program
tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang
berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang
hingga kapal.
Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US
Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut,
kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan
mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru
diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini
sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS.
Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4
Skyhawk USMC.
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk
menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England.
Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting
yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran
mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami
sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF
mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket
A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua
double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut
dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik
pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket
proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi
berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun
kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan
setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York,
aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena
percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya
kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau
begitu isu tersebut enggak benar ya?”
Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang
ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan
September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan
persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa
digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI
AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau
kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan samasekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi
armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980,
dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4
tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4
dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit
mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang
sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat
Indonesia.
Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak
ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau
menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk
beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun
mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base”
hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan
otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas.
Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk
umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung
memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas
sama sekali. Terimakasih juga untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu
juga menayangkan tentang operasi alpha dalam acara special operation (di
liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang
pilot lagi, tapi lupa namanya).
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan
kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil
A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia
negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin Kasau
dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh
selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi
berkomentar. Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit
tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk
mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak unung dan ruginya.
Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu
senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie)
ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4
digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi
alpha pernah terjadi.
Sumber : Poerwoko, Djoko F. Menari di Angkasa. Kata hasta pustaka. Jakarta. 2007
Cessna T 41 D
AS 202 Bravo
Grob G120TP
Perusahaan Grob Aircraft telah mendapatkan pembeli untuk pesawat jenis G120TP-nya. Angkatan udara Indonesia berencana akan menambahkan pesawat G120TP tersebut kedalam armadanya, yang nantinya akan difungsikan sebagai pesawat latih dasar menggantikan AS 202 Bravo.
Grob Aircraft mengatakan, "G120TP turboprop telah dipilih setelah menghadapi persaingan ketat dari Finmeccanica [Alenia Aermacchi] SF-260TP dan Pasifik Aerospace CT-4".
Pengiriman akan dimulai pada tahun 2012, dan perusahaan ini juga akan menyediakan sistem pelatihan darat berbasis komputer, perlengkapan untuk briefing misi dan pembekalan, simulasi kokpit dan paket penuh untuk dukungan pemeliharaan.
Kesepakatan ini, kemungkinan untuk sekitar 18 pesawat.
SF 260 MS / WS
T 34 C Turbo Mentor
KT 1 B Wong Bee
Ada 12
pesawat KAI KT 1 B. Pesawat latih dasar yang diterima TNI AU antara
bulan Juni 2003 dan bulan Agustus 2007. 5 diantaranya dirakit di PT DI
Bandung. Dan pada tanggal 24 Juni 2010 satu peasawat KT 1 B jatuh di
Bandara Ngurah Rai Bali.
Penerjunan pasukan dari "pantat" Bronco
North American Rockwell OV-10F Bronco
OV-10 Bronco (Kuda Liar Pelibas GPK Andalan TNI AU)
Introduction
OV-10
Bronco adalah pesawat militer ringan berbaling-baling bermesin ganda
buatan North American Rockwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat
angkut ringan. Pesawat ini dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai
pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau
anti-gerilya. Walaupun memiliki sayap tetap, kemampuannya mirip dengan
kemampuan helikopter serbu berat yang cepat, mampu terbang jarak jauh,
murah dan sangat dapat diandalkan.
OV-10
Bronco mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan
peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3
jam atau lebih. Pesawat ini berharga karena kemampuannya dalam mengemban
berbagai misi, memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang
pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek,
biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan. Dalam banyak
kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu
mesin.
Ditangan TNI AU
Ulah
GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) kerap harus dihadapi dengan tindakan
tegas, salah satunya dengan opsi militer. Nah, dari sekian banyak cara
untuk mematahkan aksi GPK, boleh jadi harus mencontoh kehebatan pesawat
tempur OV-10F Bronco, sebagai pesawat dengan turbo propeller
(baling-baling), Bronco sangat pas untuk misi anti gerilya dengan
kecepatan yang tak terlampau tinggi, pas untuk ”menghabisi” secara
akurat titik-titik konsentrasi pasukan gerilya GPK.
Bronco
tergolong pesawat yang punya reputasi tempur tinggi, tak cuma di kancah
perang Vietnam, di Indonesia sendiri pesawat yang dijuluki ”Kampret”
ini punya reputasi yang memukau dalam banyak medan tempur. Kiprah
terbesarnya tak lain saat memberikan BTU (bantuan tembakan udara) saat
operasi Seroja melawan pasukan Fretilin di Timor-Timur, kemudian Bronco
juga terlibat aktif dalam mendukung operasi penumpasan GPK Aceh Merdeka.
Dan masih banyak operasi lain yang melibatkan Kuda liar ini.
Bronco
dihadirkan oleh TNI-AU sebagai pengganti P-51 Mustang si ”Cocor Merah”
yang masuk dalam usia pensiun di era tahun 70-an. Bronco dipandang
sesuai untuk melakukan operasi pertempuran di dalam negeri, khsusunya
untuk meredam pemberontakan yang marak muncul di Tanah Air. Hal ini
disebabkan persenjatan Bronco memang dirancang untuk anti personel.
Yakni berupa empat pucuk senjata kaliber 12,7 mm di tiap-tiap
sponson-nya (merupakan modifikasi, bersi awalnya Bronco menggunakan
senjata M60 kaliber 7,6 mm), kemudian lima buah station dibawah fuselage
bomb untuk segala fungsi dan berat, mulai dari bom 100 Kg sampai 250 Kg
jenis ZAB, MK-28, OFAB dan bisa disiapkan dengan peluncur roket FFAR.
Untuk
melindung pilot dan navigator dari terjangan peluru lawan, canopy depan
dan lantai dasar Bronco dibalut lapisan anti peluru. Bronco juga punya
kemampuan untuk menerjunkan pasukan. Dari semua negara pengguna Bronco,
termasuk US Air Force dan US Navy, baru Indonesia yang pernah
melaksanakan dropping pasukan. Salah satunya pernah diadakan ”combat
free fall” dengan jumlah empat orang dari ”pantat” Bronco. Untuk misi
jarak jauh, kompartmen di bagian ”pantat” bisa disulap sebagai tanki
bahan bakar, seperti digunakan saat penerbangan ferry Bronco dari AS
menuju Indonesia.
Jumlah
Bronco yang dimiliki TNI-AU total ada 16 unit. Pada awal kehadirannya
Bronco masuk dalam skadron 3, kemudian berpindah menjadi warga skadron 1
pembom. Seiring waktu berjalan dan pengabdian, jumlah Bronco terus
berkurang hingga hanya layak disebut sebagai ”unit” dan nasibnya
terselamatkan dengan pembentukan skadron udara 21. Ada kabar sebelumnya
bahwa Thailand akan menjual 20 Bronco kepada Indonesia, tapi hingga kini
belum ada realisasi lebih lanjut.
Dengan
usia terbang yang lebih dari 30 tahun, membuat terbang Bronco lumayan
berisiko, terakhir sebuah Bronco jatuh pada bulan Juli 2007 di area
persawahan di kota Malang, dua awaknya dilaporkan tewas. TNI-AU pun
tengah menunggu untuk mendapatkan pengganti Bronco, kandidat yang
diajukan adalah EMB-314 Super Tucano dari Brazil dan KO-1 dari Korea
Selatan.
Dengan
kecepatan terbang yang rendah, Bronco pas untuk aksi COIN (Counter
Insurgency), tapi bisa jadi buah simalakama bila menghadapi senjata
penangkis serangan udara. Dengan kecepatan terbang yang rendah Bronco
bisa jadi santapan empuk meriam dan rudal anti pesawat. Hal inilah yang
menjadi kendala Bronco saat beraksi dalam perang Vietnam.
Sampai
perang Teluk di tahun 1992, Bronco tetap eksis digunakan oleh US Marine
sebagai pesawat intai. Berbeda dengan Bronco milik TNI-AU, Bronco milik
US Marine dilengkapi alat pengintai canggih, kamera terintegrasi,
radar, FLIR (Forward Looking Infrared) dan lebih hebat lagi Bronco US
Marine bisa menggotong rudal udara ke udara Sidewinder. Sayang Bronco
TNI-AU tak sempat di upgrade untuk persenjataan lebih canggih. Selain
Indonesia, Bronco juga dipakai oleh Jerman, Thailand, Venezuela dan AS
tentunya.
Spesifikasi OV-10F Bronco
Produsen : North American, Rockwell Internationa
Kru : 2
Lebar sayap : 12,9 meter
Tinggi : 4,62 meter
Berat kosong : 3,127 Kg
Berat Max Take off : 6,522 Kg
Mesin : 2 x Garret T76 G-410/412 turboprop, 715 hp (533 kW) each
Kecepatan Max : 452 Km / jam
Jarak Tempuh : 358 Km
Pengguna
Amerika Serikat
Jerman Barat
Thailand
Venezuela
Indonesia
BAe Hawk Mk 53
BAe Hawk Mk 109
BAe Hawk Mk 209
Pesawat
Hawk merupakan pesawat tempur taktis utama yang ditempatkan di Skuadron
Udara 1 dan 12 yang diterima TNI AU sebanyak 40 buah pada bulan Mei
1996. Hawk Mk 200 menggantikan pesawat OV 10 Bronco. Ada 10 pesawat yang
telah ajatuh dan saat ini ada 7 buah pesawat Hawk Mk 109 dan 26 Hawk Mk
209 yang masih beroperasi. Dan berikut beberapa data tentang jatuhnya
pesawat Hawk Mk 109 dan Hawk Mk 209:
Pada tgl 21November 2006, type pesawat Hawk Mk209, no register TT-0207
dari Skadron Udara 12, menagalami kecelakaan di Pelabuhan Udara Sultan
Sarif Kasim II peasawat tergelincir keluar landasan setelah mendarat.
pilot yang bernama Mayor Pnb Dadang melompat dengan kursi lontar
Martin-Baker Mk.10 dengan selamat (sumber dari :
http://www.ejection-history.org.uk/Aircraft_by_Type/HAWK/HAWK.htm).
Pada
tanggal 30 Oktober 2007 jam 08.49 WIB dengan penerbang Kapten Hermawan
M. Qisha menggunakan pesawat Hawk Mk 209 no register TT 0203. Komandan
Lanud Pekanbaru Kolonel Gandhara Olivenca didampingi Kepala Penerangan
dan Perpustakaan (Kapentak) Mayor (Sus) Dede Nasruddin kepada wartawan
mengatakan belum bisa memastikan penyebab kecelakaan. "Kami belum bisa
menjelaskan penyebab kecelakaan. Saat ini kami masih melakukan
penyelidikan. Tapi, yang pasti pesawat tergelincir di ujung landasan
pacu, dengan pilot dalam keadaan selamat," terang Danlanud. Dia
menjelaskan, ketika itu tiga pesawat tempur hendak terbang. Namun,
karena pesawat mengalami masalah, pilot Kapten H.M. Qisha memutuskan
membatalkan penerbangan yang kemudian membuat ’burung besi’ itu
terguling. Untungnya, aparat TNI-AU di lanud sigap. Mereka bertindak
cepat untuk menyelamatkan pilot M. Qisha yang hampir kehabisan oksigen.
"Pilot diselamatkan tanpa kurang sesuatu apa pun," tuturnya. Bagaimana
kondisi pesawat? Yang agak ’menolong’ tidak terjadi ledakan atau kobaran
api. Walaupun terbalik, bodi pesawat tidak rusak parah. Danlanud juga
mengaku baru saja menggelar rapat dengan Komandan Panglima Operasional I
Wilayah Barat Marsekal Muda Edi Wiyatmoko. Dia mengatakan, pesawat yang
tergelincir itu merupakan produksi 1995 dengan produsen negara Inggris.
Kerusakan pesawat sementara ditaksir 40 persen. Yang membuat prihatin,
kejadian itu yang kedua dalam dua tahun terakhir. Pesawatnya sama dan
tempatnya sama. Kejadian pertama pada medio November 2006. Saat itu juga
tak ada korban jiwa.(sumber :
http://202.158.39.213/content.asp?contentid=3176 atau
http://www.tni-au.mil.id/ dan
http://www.depdagri.go.id/news/2007/10/31/tergelincir-hawk-tni-au-terbalik
dan
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=18439)
Agung "sharky" Sasongko Jati jatuh menggunakan Hawk Mk.109 di Pekanbaru.
Northrop F-5F Tiger II
Sebanyak
12 pesawat F 5 E Tiger dan 5 buah pesawat F 5 F yang menggantikan CA27
Sabre dan ditempatkan di Skuadron Udara 14. 11 pesawat masih beroperasi
dan dalam waktu dekat akan segera diganti.
General Dynamic F 16 A/B Fighting Falcon Block 15
8 buah
pesawat F 16 A dan 4 F 16 B menggantikan OV 10 Bronco dan ditempatkan
di Skudron Udara 3 pada tahun 1989 . Pesawat ini merupakan salah satu
pesawat modern milik TNI AU aayang masih beroperasi. Anatara tahun 1996
dan 1999 pesawat F 16 ini digunakan untuk Blue Eagle Aerobatic Team
(Team Aerobatik Elang Biru). Dan saat ini masih ada 10 pesawat F 16 A /B
yang masih beroperasi dan membutuhkan untuk di up grade agar lebih
efektif.
SU 27 Flangker
SU 30 MK Super Flangker
SU 27 Flangker & SU 30 MK Super Flangker
Pesawat
tempur utama milik TNI AU yang berfungsi sebagai pesawat tempur sergap
adalah SU 27/30 Flanker dan TNI AU adalah pengguna SU 27 SK. Antara
bulan September 2003 sampai dengan September 2010 ada 10 buah pesawat
Flanker yang diterima oleh TNI AU dan ditempatakan di Skuadron Udara 11
serta menggantikan pesawat A 4 E Sky Hawk.
Kokpit EMB-314 EFIS, HUD, HOTAS dan FLIR capable.
EMB-314 kokpit bagian tempat duduk depan
EMB-314 kokpit bagian tempat duduk belakang
EMB-314 Super Tucano
Super Tucano Sqd. 21 rencana ditempatkan di base Tarakan dan Malang,
hanggar di Malang dan di Tarakan sudah dibangun..perkiraan Super Tucano
tiba akhir 2011 hingga 2012
Piper
CN 212 Aviocar
CN 235 MPA Tetuko
Fokker 27 400 M
Setelah
35 tahun beroperasi terdapat 6 buah pesawat F 27 400 M yang masih
beroperasi dari 8 yang diterima oleh TNI AU pada tahun 1976.
C 130 Hercules
Sebuah C 130 H MP ayang diterima pada tahun 1981 telah jatuh tahun 1985 di Medan.
Foker F 28
Boeing 737-2X9 Adv Surveiller
Tampilannya tak beda jauh dengan pesawat komersial biasa, akan tetapi
kemampuannya sangat luar biasa. Pesawat Boeing-737 milik TNI Angkatan
Udara ini mampu mengamati seluruh gerak-gerik di atas perairan
Indonesia yang luasnya mencapai 8,5 juta kilometer persegi.
Sesuai dengan tugasnya, tiga pesawat Boeing-737 Maritime Patrol yang
berbasis di Skadron Udara 5 Pangkalan Udara (Lanud) Hasanuddin,
Makassar, ini setiap hari melakukan pengamatan udara dan maritim (air
and maritime surveillance) di seluruh wilayah perairan Indonesia.
Secara bergantian ketiganya mengamati secara sistematik ruang udara,
permukaan daratan, maupun perairan, lokasi, atau tempat, sekelompok
manusia atau obyek-obyek lain, baik secara visual, aural, fotografis,
elektronis, maupun dengan cara lain.
“Tugas kami hanya mendeteksi. Hasil deteksi yang diperoleh disampaikan
ke komando atas, yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Bila perlu
hasil deteksi itu dikoordinasikan dengan TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Darat, Kepolisian RI, atau instansi terkait,” ungkap Kapten
(Pnb) Sumanto, Komandan Flight Operasi Skadron 5.
Peran pengamatan udara itu penting bagi Indonesia untuk dapat
dimanfaatkan mencegah pengambilan ikan secara ilegal oleh nelayan
asing, dan untuk menggagalkan penyelundupan kayu, serta minyak yang
sampai sekarang masih marak di perairan Indonesia.
Skuadron
5 yang berpangkalan di Lanud hasanuddin, Makassar, menerima tiga Boeing
B737-200 2X9 Surveiller untuk menggantikan Grumman UF-1 Albatross.
Pesawat berjulukan Camar Emas ini diberi registrasi AI-7301, AI-7302,
dan AI-7303. Pengiriman pesawat yang dipesan April 1981 ini dilakukan
secara maraton mulai dari 20 Mei 1982, 30 Juni 1983, dan 3 Oktober 1983.
dengan kekuatan tiga pesawat, berarti tiap pesawat harus melakukan
pengintaian sepertiga wilayah Indonesia.
Dari segi performa, Camar Emas tidak kalah garang dengan pesawat
pengintai yang telah terkenal seperti E-8-J-STARS (Joint Surveillance
and Target Attack Radar System), E-3 Sentry AWACS, Bariev A-50 Mainstay
AWACS, DC-8-72F SARIGUE NG, P-3C Orion atau radar terbang masa datang
Australia B737-700 Wedgetail versi New Generation B737 yang dikonversi
untuk kepentingan intelijen. Tidak percaya? Intip saja alat pengendus
yang diusung.
Dihidungnya ada radar double agent AN/APS-504 (V)5. selain berfungsi
konvensional, radar ini bisa diset mendeteksi sasaran di permukaan atau
di udara. Jarak pindainya luar biasa, 256 Nm (Nano Meter). Navigasi dan
komunikasinya juga kompak. Saat ini B737 dilengkapi sistem navigasi INS
LTN-72R terintegrasi dengan GPS. Karena memainkan peran penting dalam
air intelligence, komunikasi tidak saja masuk kategori wajib, tapi juga
harus mempunyai tingkat aksesbilitas tinggi. Untuk B737, saluran telepon
bisa terhubung langsung dengan komando pusat. Tampilan instrumen yang
menawan (pilot color high resolution display), makin mempercanggih suasa
kokpit.
Tugas pokok
Skadron 5 adalah, melakukan pengintaian udara strategis dan pengawasan
maupun pengamanan terhadap semua objek bergerak di permukaan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan jalur lalu lintas damai.
Informasi yang dihasilkan B737 sangat penting dalam masa perang dan
damai. Kegiatan eksploitasi informasi dalam hubungannya dengan air power
terdiri dari tiga hal. Yaitu informasi, reconnaissance, dan
surveillace. Hubungan ketiga faktor ini dengan intelijen sangat erat.
Maritime Patrol ini dilengkapi peralatan Motorola AN/APS-135 SLAMMR
(Side Looking Airborne Multi Mission Radar), suatu alat sensor dengan
daya deteksi yang sangat kuat pada suatu daerah yang sangat luas. Dengan
SLAMMR, Boing-737 ini mampu mendeteksi wilayah perairan seluas 85.000
mil persegi per jam. Di tambah lagi peralatan navigasi Internal
Navigation System dan Omega Navigation System serta peralatan komunikasi
modern.
Tiga pesawat Boeing-737 itu berbasis di Skadron Udara 5 Lanud
Hasanuddin, Makassar, sejak 1 Juni 1982. Tahun 1993, ketiganya menjalani
up-grade di tempat kelahirannya di Seattle, Amerika Serikat. Sehingga
mengalami peningkatan kemampuan pada SLAMMR Real Time, Infra Red, Search
Radar, serta sistem navigasi dan komunikasi yang diintegrasikan dengan
DPDS (Data Processing Display System).
Dengan kemampuan
yang dimiliki itu, Boeing-737 Maritime Patrol melakukan tugas
pengawasan dan pengintaian di perairan Nusantara, Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Di samping
itu, mengawasi daerah musuh tanpa harus terbang di atas wilayahnya.
Dengan jumlah
pesawat yang masih terbatas untuk memantau wilayah kita yang sangat
luas, Skadron Udara 5 dituntut mampu mengoptimalkan alat utama sistem
senjata (alutsista) yang ada. “Dalam kondisi seperti ini kita tidak
kenal menyerah. Berbekal basis pengetahuan yang dimiliki, kami mencoba
mengombinasikan dengan pengalaman yang dihadapi dalam pemeliharaan di
lapangan. Pengalaman itu kemudian menjadi pengetahuan yang baru bagi
kami, untuk memperpanjang usia pakai peralatan,” kata Kepala Dinas
Pemeliharaan Skadron Udara 5, Kapten (Tek) Ifan BM.
Tanggal 14 September 1993, pesawat Boeing 737 AI-7301 kembali dari AS
setelah mengalami peningkatan kemampuan dengan modifikasi. Adapun
kemampuan yang ditingkatkan adalah Slammr Real Time, Infra Red Detection
System (IRDS), Search Radar, sistem navigasi dan komunikasi yang
terintegrasi dengan DPDS (Data Proccessing Display System). Sedangkan
untuk pesawat AI-7303 modifikasi dilakukan di IPTN (sekarang PT DI)
Bandung. Terakhir kita melihat kiprah pesawat ini saat turut mencari
lokasi jatuhnya pesawat Adam Air di laut Sulawesi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Maritime Patrol didukung 64 kru, yang
terdiri dari dua orang instruktur/kapten pilot, 12 co-pilot, 16 juru
mesin udara (engineering), lima juru muat udara (load master), 10
operator console, 14 observer, tiga juru foto udara, dan dua flight
surgeon.
Spesifikasi Boeing 737-200 2X9 Surveiller
Ukuran
Lebar sayap = 28,35 m (93 ft 01 in)
Tinggi = 11,23 m (36 ft 84 in)
Panjang keseluruhan = 30,53 m (100 ft 16in)
Lebar kabin (lantai tingkat) = 3,3 m (10 ft 8 in)
Panjang Kabin = 28,2 m (92 ft 8 in)
Desain
Berat Maksimum Take off= 53.297 kg (117 £ 498)
Berat Maksimum Landing = 47.627 kg (104 £ 998)
Berat Maksimum Bahan Bakar Kosong = 43.090 kg (94 £ 996)
Berat Kosong Operasi = 29.400 kg (64 £ 815)
Kemampuan
Daya Jelajah = 760 km/h (410 kts)
Ketinggian = 10.668 m (35.000 ft)
Kapasitas = 107 Penumpang
Kapasitas Volume Bahan Bakar = 15 635 kg
Boeing 737-400
Boeing 707
Capt Penerbang Rahadi S dengan Bell 47 di Lanud Atang Senjaya, Semplak Bogor 1978.
Bell-47G-3B1
Sebanyak
12 helikopter Bell 47 G-3B1 diterima TNI AU adari Angkatan Darat
Australia pada bulan Juli 1978. Dan semua helicopter ini masih
dipergunakan untuk pelatihan pilot helicopter di Skuadron Udara 7. Hanya
ada satu helicopter yang jatuh pada tahun 2008 dan 11 helikopter
lainnya masih terus beroperasi sampai dengan sekarang.
EC 120 Colibri
Salah
satu jenis roket yang berhasil dimanfaatkan lagi oleh TNI AU adalah
roket "Sura" buatan pabrik Hispano-Suizza yang semula terpasang di
pesawat anti kapal selam TNI AL jenis Gannet saat ini dipasangkan pada
helikopter BO 105 TNI AU.
NBO 105
10
buah helicopter NBO 105 yang digunakan oleh BASARNAS untuk tugas-tugas
SAR yang dibagi menjadi 3 lokasi. 3 buah helikopter ditempatkan di
Skuadron Udara 7 di Lanud Aatang Sanjaya (TNI AU) dan 3 diantaranya
sudah tidak beroperasi lagi. 2 buah helikopter di Lanudal Juanda (TNI
AL) dan satu buah helikopter di Tanjung Pinang (TNI AL). Helikopter HR
1520 ajatuh setelah menghantam air pada tanggal 18 November 2009.
Bell 204
S 58 Twin Pack
AS 330 Puma
AS 332 Super Puma
DAFTAR PANGKALAN UDARA TNI AU
Koopsau I
Tipe A :
Lanud Halim Perdanakusuma (HLP}, Jakarta
Lanud Atang Sendjaja (ATS), Bogor
Tipe B :
Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh
Lanud Medan (MDN), Medan
Lanud Pekanbaru (PBR), Pekanbaru
Lanud Husein Sastranegara (HSN), Bandung
Lanud Suryadarma (SDM), Subang
Lanud Supadio (SPO), Pontianak
Tipe C :
Lanud Maimun Saleh (MUS), Sabang
Lanud Tanjung Pinang (TPI), Tanjung Pinang
Lanud Hang Nadim, Batam
Lanud Ranai (RNI), Natuna
Lanud Padang (PDA), Padang
Lanud Palembang (PLG), Palembang
Lanud Tanjung Pandan (TDN), Belitung
Lanud Wiriadinata (TSM), Tasikmalaya
Tipe D :
Lanud Astra Kestra (ATK), Lampung
Lanud Sugiri Sukani (SKI), Cirebon
Lanud Wirasaba (WSA), Purwokerto
Lanud Singkawang II (SWII), Singkawang
Rencana Pembangunan :
Lanud Piobang (PBG) , Payakumbuh
Lanud Gadut (GDT) , Bukittinggi
Koopsau II
Tipe A :
Lanud Hasanuddin (HND), Makassar
Lanud Iswahyudi (IWJ), Madiun
Lanud Abdul Rachman Saleh (ABD), Malang
Tipe B :
Lanud Surabaya (SBY), Surabaya
Lanud Pattimura (PTM), Ambon
Lanud Jayapura (JAP), Jayapura
Tipe C :
Lanud Iskandar (IKR), Pangkalan Bun
Lanud Syamsuddin Noor (SAM), Banjarmasin
Lanud Balikpapan (BPP), Balikpapan
Lanud Ngurah Rai (RAI), Denpasar
Lanud Rembiga (RBA), Mataram
Lanud Eltari (ELI), Kupang
Lanud Wolter Monginsidi (WMI), Kendari
Lanud Sam Ratulangi (SRI), Manado
Lanud Manuhua (MNA), Biak
Lanud Timika (TMK), Timika
Lanud Merauke (MRE), Merauke
Lanud Tarakan (TAK), Tarakan (Dalam tahap pembangunan)
Tipe D :
Lanud Morotai (MRT), Halmahera Utara
Lanud Dumatubun (DMN), Tual
Kodikau
Lanud Adi Sutjipto (ADI), Jogjakarta
Lanud Adisumarmo (SMO), Solo
Lanud Sulaiman, Bandung
LOKASI LANDASAN UDARA TNI AU YANG OPERASIONAL :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R
Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E
Elev: 1726 ft
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
LAMBANG SKUADRON UDARA TNI AU YANG PERNAH ADA :
LANDASAN UDARA DENGAN SKUADRON UDARA TNI AU YANG BERPANGKALAN DI LANUD TERSEBUT :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Skadron Udara 5
B737-2X9
CN235-220-MPA
Skadron Udara 11
Su-27SK
Su-27SKM
Su-30MK
Su-30MK2
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Skadron Pendidikan 101
AS202/18A-3
Skadron Pendidikan 102
T-34C
KT-1B
Jupiter Aerobatic Team
KT-1B
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Skadron Udara 6
NAS332(TT)
Skadron Udara 8
SA330J
NSA330L
NSA330SM
BASARNAS
NBo105CB
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 3 "Sarang Naga" ("Dragon's Nest)
F-16A
F-16B
Skadron Udara 14
F-5E
F-5F
Skadron Udara 15
Hawk Mk53
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E Elev: 1726 ft
Skadron Udara 4
NC212M-100
NC212M-200
Skadron Udara 32
C-130B
KC-130B
C-130H
Skadron Udara 21
EMB-314
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Skadron Udara 12 "Panther Hitam" ("Black Panthers")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Skadron Udara 2
CN235-100M
F27-400M
SF260MS
SF260WS
Skadron Udara 17 "Kereta Kencana" ("Golden Chariots")
B737-2Q8
F27-400M
F28-1000
F28-3000
L100-30
C-130H-30
NAS332L1
AS332L2
Skadron Udara 31
L100-30
C-130H-30
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 7
EC120B
Bell 47G-3B-1
Skadron Udara 2 det.
SF260MS
SF260WS
SATUD TANI
PC-6B
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
FASI
AS202/18A-3
L-4J
Aviat Husky A-1
PZL-104
An-2
Gliders
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
Skadron Udara 1 "Elang Khatulistiwa" ("Equatorial Eagles")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
PANGLIMA TNI AU YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KASAU :
Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma
9/04/1946 - 19/01/1962
Laksamana Madya Omar Dani
19/01/1962 - 24/11/1965
Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang
27/11/1965 - 31/03/1966
Laksamana Udara Roesmin Noerjadin
31/03/1966 - 10/11/1969
Marsekal TNI Soewoto Sukendar
10/11/1969 - 28/03/1973
Marsekal TNI Saleh Basarah
28/03/1973 - 4/06/1977
Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi
4/06/1977 - 26/11/1982
Marsekal TNI Soekardi
26/11/1982 - 11/04/1986
Marsekal TNI Oetomo
11/04/1986 - 1/03/1990
Marsekal TNI Siboen Dipoatmodjo
1/03/1990 - 23/03/1993
Marsekal TNI Rilo Pambudi
23/03/1993 - 15/03/1996
Marsekal TNI Sutria Tubagus
15/03/1996 - 3/07/1998
Marsekal TNI Hanafie Asnan
3/07/1998 - 25/04/2002
Marsekal TNI Chappy Hakim
25/04/2002 - 23/02/2005
Marsekal TNI Djoko Suyanto
23/02/2005 - 15/02/2006
Marsekal TNI Herman Prayitno
15/02/2006 - 28/12/2007
Marsekal TNI Subandrio
28/12/2007 - 16/11/2009
Marsekal TNI Imam Sufaat
7/11/2009 - sekarang
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Nasional_Indonesia_Angkatan_Udara
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/04/fighter-bomber-era-1950.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/04/operasi-alpha-ketika-tni-au-melakukan.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/boeing-737-surveillance-jet-pengintai_17.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/f-86-sabre-salah-satu-pioner-pesawat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/kennel-rudal-bongsor-yang-membuat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/ov-10-bronco-kuda-liar-pelibas-gpk.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/t-33a-awalnya-bukan-pesawat-tempur.html
http://www.indoflyer.net/forum/tm.asp?m=383899&mpage=2򇀼