DISUSUN KEMBALI OLEH :
TNI AU lahir dengan dibentuknya Badan
Keamanan Rakyat (BKR) pada Tanggal 23 Agustus 1945, guna memperkuat
Armada Udara yang saat itu berkekurangan pesawat terbang dan
fasilitas-fasilitas lainnya. pada tanggal 5 Oktober 1945 berubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) jawatan penerbangan di bawah
Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.Pada tanggal 23 Januari 1946 TKR ditingkatkan lagi menjadi TRI, sebagai kelanjutan dari perkembangan tunas Angkatan Udara. Pada tanggal 9 April 1946, TRI jawatan penerbangan dihapuskan dan diganti menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia, yang kini diperingati sebagai hari lahirnya TNI AU yang diresmikan bersamaan dengan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada 29 Juli 1947 tiga kadet penerbang TNI AU masing-masing Kadet Mulyono, Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutarjo Sigit dengan menggunakan dua pesawat Cureng dan satu Guntei berhasil melakukan pengeboman terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda di tiga tempat, masing-masing di kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Modal awal TNI AU adalah pesawat-pesawat hasil rampasan dari tentara Jepang seperti jenis Churen, Nishikoren, serta Hayabusha. Pesawat-pesawat inilah yang merupakan cikal bakal berdirinya TNI AU.
Yokosuka K 5 Y 1 ( Churen / Cureng )
Nakajima Ki 43 Oscar ( Hayabusha )
Mitsubishi Ki-51 ( Mitsubishi Type 98 Guntei )
Mansyu Ki 79 B Nishikoren
Mitsubishi_A6M Zero
Museum
Angkatan Udara Indonesia adalah museum pertama yang mengoleksi pesawat
ini. Tentara Jepang pernah menggunakan pesawat ini di Indonesia pada
tahun 1942-1945.
( Bapak Karbol )
Komodor Udara Abdulrahman Saleh, yang
akrab di panggil Pak Karbol, bukan saja seorang Perwira Tinggi,
Pendidik, dan Pahlawan/Perintis TNI Angkatan Udara, tetapi juga
perintis/pendiri Radio Republik Indonesia (RRI).
Pak Karbol yang juga di pakai untuk
sebutan Taruna/Kadet Akademi Angkatan Udara (AAU), menjadi Karbol AAU,
karena keahliannya dibidang komunikasi radio dan sebagai angkasawan
radio ikut pula tergabung dalam pembentukan RRI pada tanggal 11
September 1945.
Komodor Udara Dr. Abdulrahman Saleh
menjadi pimpinan delegasi angkasawan radio menghadap Presiden Sukarno.
Delegasi menyampaikan himbauan kepada Presiden agar menggunakan sarana
komunikasi radio sebagai alat komunikasi paling ampuh untuk mencapai
rakyat dengan cepat dan luas jangkauannya. Bahkan Komodor Udara Prof.
Dr. Abdulrahman Saleh ditunjuk sebagai Pemimpin Umum RRI.
Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma • | Lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada 6 Desember 1912 |
• | Pada 1 September 1945 ditugaskan membentuk AURI |
• | Pada 9 April 1946 diangkat sebagai KASAU (Pertama) |
• | Pada 27 Pebruari 1948 s/d 1 Oktober 1948 diangkat sebagai APRI |
• | Pada 1 Agustus 1949 diangkat sebagai Kastaf AURIS |
• | Pada 18 Pebruari 1960 diangkat sebagai Menteri / Kastaf AURI |
• | Pada 19 Januari 1962 diangkat sebagai Menteri Penasehat Presiden RI |
• | Pada 1965 diangkat sebagai Menpostel RI |
Fase
penting kedua dalam perkembangan TNI AU berlangsung pada tahun 1950an.
Pada era ini AURI kernbali menerima lusinan pesawat bekas pakai yang
kali ini dari AU Belanda sebagai konsekuensi dari hasil keputusan yang
diambil dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949. Menurut
KMB, AURIS akan melikuidasi AU Belanda (ML, Militaire Luchtvaart) dalam
waktu relatif singkat, selambat-lambatnya enam bulan terhitung setelah
pengakuan kedaulatan.
Sementara KSAU Suryadarma bertindak cepat dengan mengeluarkan petunjuk khusus pada tanggal 19 Januari 1950. Petunjuk khusus ini mengatur tentang pengibaran bendera diseluruh pangkalan udara, penyerahan pangkalan udara baik menyangkut personel maupun peralatan dan pesawat yang ada di dalamnya, termasuk juga semua hal yang berkaitan dengan operasi penerbangan.
Sementara KSAU Suryadarma bertindak cepat dengan mengeluarkan petunjuk khusus pada tanggal 19 Januari 1950. Petunjuk khusus ini mengatur tentang pengibaran bendera diseluruh pangkalan udara, penyerahan pangkalan udara baik menyangkut personel maupun peralatan dan pesawat yang ada di dalamnya, termasuk juga semua hal yang berkaitan dengan operasi penerbangan.
Selain pangkalan, sarana dan prasarana yang diserahkan kepada AURIS meliputi sebuah hangar bengkel pemeliharaan pesawat, dan sejumlah pesawat di antaranya tujuh Piper Cub, delapan Harvard, 36 Dakota, 25 pembom B-25 Mitchel, 12 pesawat angkut Lockheed (L-12?), dan 28 pesawat pemburu P-51 Mustang. Diakhir acara penyerahan, dilakukan penggantian tanda kepangkatan sejumlah anggota yang berasal dari ML dan kemudian memlilih bergabung dengan AURIS. Aihasil seperti ditulis dalam buku Sejarah Angkatan Udara Indonesia 1950-1959, total 10.000 personel ML dan ratusan pesawat dari berbagai tipe diserahkan kepada AURIS.
Boleh dikata proses serah terima dari ML ke AURIS berjalan lancar. Dalam waktu relatif singkat AURIS berhasil melakukan konsolidasi yang dalam sejarah TNI AU dikenal sebagai Program Kerja Kilat. Program ini intinya adalah bahwa AURIS diberi mandat dalam waktu singkat untuk menyusun organisasi Angkatan Udara dalam bentuk sementara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Program ini direncanakan harus sudah selesai pada tahun 1951. Seperti berpacu dengan waktu, AURIS juga sudah memiliki sebuah markas besar yang berlokasi di Jakarta disusul dibakukannya organisasi dengan status langsung berada di bawah menteri pertahanan.
Jauh sebelum itu, KSAU juga sudah mengeluarkan surat keputusan berupa pembentukan sejumlah skadron udara. Yaitu meliputi skadron intai laut, transport, pembom, intai darat, dan skadron pembom sedang. Karena begitu banyaknya pesawat diperoleh dari ML, setiap skadron diperkuat oleh setidaknya 20 pesawat, kecuali skadron intai laut yang berkekuatan hanya 12 pesawat.
Di periode awal transisi ini, semula hanya ada dua skadron udara yaitu Skadron 1 di Lanud Cililitan (sekarang Halim Perdanakusuma), dan Skadron 2 di Andir. Isinya adalah otomatis semua pesawat yang selama ini oleh Belanda memang dipangkalkan di kedua lanud tersebut.
Ketika itu pesawat P-51, B-25, C-47, PBY-5 Catalina masih bemaung di bawah payung Skadron I. Selanjutnya pada 1951 dilakukan penyempurnaan organisasi operasional ini dengan memekarkan jumlah skadron menjadi enam. Meliputi Skadron I dengan kekuatan pesawat B-25, Skadron 2 Pengangkut pesawat C-47, Skadron 3 Pemburu dengan P-51, Skadron 4 Pengintai Darat dengan Auster dan L-4J, Skadron 5 Pengangkut Operasionil dengan C-47, dan dibentuknya sekolah penerbang dengan berbagai tipe pesawat. Organisasi skadron ini terus disempurnakan dari tahun ke tahun seiring semakin tertatanya organisasi AURI.
. Sementara KSAU Suryadarma bertindak cepat dengan mengeluarkan petunjuk khusus pada tanggal 19 Januari 1950. Petunjuk khusus ini mengatur tentang pengibaran bendera diseluruh pangkalan udara, penyerahan pangkalan udara baik menyangkut personel maupun peralatan dan pesawat yang ada di dalamnya, termasuk juga semua hal yang berkaitan dengan operasi penerbangan.
Sementara KSAU Suryadarma bertindak cepat dengan mengeluarkan petunjuk khusus pada tanggal 19 Januari 1950. Petunjuk khusus ini mengatur tentang pengibaran bendera diseluruh pangkalan udara, penyerahan pangkalan udara baik menyangkut personel maupun peralatan dan pesawat yang ada di dalamnya, termasuk juga semua hal yang berkaitan dengan operasi penerbangan.
Selain pangkalan, sarana dan prasarana yang diserahkan kepada AURIS meliputi sebuah hangar bengkel pemeliharaan pesawat, dan sejumlah pesawat di antaranya tujuh Piper Cub, delapan Harvard, 36 Dakota, 25 pembom B-25 Mitchel, 12 pesawat angkut Lockheed (L-12?), dan 28 pesawat pemburu P-51 Mustang. Diakhir acara penyerahan, dilakukan penggantian tanda kepangkatan sejumlah anggota yang berasal dari ML dan kemudian memlilih bergabung dengan AURIS. Aihasil seperti ditulis dalam buku Sejarah Angkatan Udara Indonesia 1950-1959, total 10.000 personel ML dan ratusan pesawat dari berbagai tipe diserahkan kepada AURIS.
Boleh dikata proses serah terima dari ML ke AURIS berjalan lancar. Dalam waktu relatif singkat AURIS berhasil melakukan konsolidasi yang dalam sejarah TNI AU dikenal sebagai Program Kerja Kilat. Program ini intinya adalah bahwa AURIS diberi mandat dalam waktu singkat untuk menyusun organisasi Angkatan Udara dalam bentuk sementara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Program ini direncanakan harus sudah selesai pada tahun 1951. Seperti berpacu dengan waktu, AURIS juga sudah memiliki sebuah markas besar yang berlokasi di Jakarta disusul dibakukannya organisasi dengan status langsung berada di bawah menteri pertahanan.
Jauh sebelum itu, KSAU juga sudah mengeluarkan surat keputusan berupa pembentukan sejumlah skadron udara. Yaitu meliputi skadron intai laut, transport, pembom, intai darat, dan skadron pembom sedang. Karena begitu banyaknya pesawat diperoleh dari ML, setiap skadron diperkuat oleh setidaknya 20 pesawat, kecuali skadron intai laut yang berkekuatan hanya 12 pesawat.
Di periode awal transisi ini, semula hanya ada dua skadron udara yaitu Skadron 1 di Lanud Cililitan (sekarang Halim Perdanakusuma), dan Skadron 2 di Andir. Isinya adalah otomatis semua pesawat yang selama ini oleh Belanda memang dipangkalkan di kedua lanud tersebut.
Ketika itu pesawat P-51, B-25, C-47, PBY-5 Catalina masih bemaung di bawah payung Skadron I. Selanjutnya pada 1951 dilakukan penyempurnaan organisasi operasional ini dengan memekarkan jumlah skadron menjadi enam. Meliputi Skadron I dengan kekuatan pesawat B-25, Skadron 2 Pengangkut pesawat C-47, Skadron 3 Pemburu dengan P-51, Skadron 4 Pengintai Darat dengan Auster dan L-4J, Skadron 5 Pengangkut Operasionil dengan C-47, dan dibentuknya sekolah penerbang dengan berbagai tipe pesawat. Organisasi skadron ini terus disempurnakan dari tahun ke tahun seiring semakin tertatanya organisasi AURI.
RI-X
Daya gempur AURI nyaris sempurna karena ditopang oleh 40 pesawat pemburu P-51 Mustang. Dengan pesawat inilah AURI kemudian menggelar sejumlah operasi kamdagri.
Terlihat Presiden Soekarno didampingi KSAU Suryadarma melakukan pemeriksaan penerimaan P-51D Mustang di Lanud Cililitan pada tahun 1950.
Para
penerbang Mustang Skuadron 3 berfoto bersama di Halim tahun 1958. Duduk
dari kiri Rusman, Ashadi Tjahyadi, Hapid Prawiranegara, Roesmin
Noerjadin (komandan), Ign Dewanto, Soejoedi (penvira teknik). Berdiri
dari Soewondo, Hashary, Loely Wardiman, Goenadi, Dono Indarto, dan
Moesidjan. Foto insert adalah Kolonel (pur) Gootschalk, penerbang
Mustang ML yang memperkuat AURI dan membidani lahirnya Skuadron 3.
Sebuah Mustang tengah disiapkan oleh kru darat sebelum melaksanakan penerbangan.
Jejeran Mustang dalam persiapan terbang di Lanud Cililitan.
Foto
yang memperlihatkan sejumlah Mustang ketika disiapkan dalam operasi
menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera. Foto diambil di Lanud
Pekanbaru. Kehadiran Mustang cukup membuat kelompok PRRI jeri dan
menghentikan perlawanannya. Tak lama kemudian, Mustang dikirim ke Ambon
untuk menumpas gerakan Permesta.
P 51 Mustang
Sebuah
pembom medium B-26 Invader dengan tambahan nose art bertema "shark
teeth" di Lanud Abdulrahman Saleh, Malang. Era 1950-an ditandai dengan
melimpahnya jenis pesawat yang diperoleh AURI sebagai hibah dari ML
Belanda pasca KMB. Dengan pesawat-pesawat inilah AURI melakukan lompatan
teknologi. Di era ini pula AURI mulai mengenal era jet dengan datangnya
DH-115 Vampire dari Inggris.
B-26 Invader saat akan melakukan persiapan Operasi Seroja di Timor Timur
B 26 Invander
de Havilland Otter/DHC-3
Kenangan lama de Havilland Otter/DHC-3 milik TNI AU.
Pada jaman Orde Lama TNI AU memiliki 6 buah de Havilland Otter/DHC-3 yang ditempatkan di Skuadron 4 keenam buah de Havilland Otter/DHC-3 yaitu dengan no register :
T-200 DHC-3 Amphi. 263 ex ELL-200 d/d 1958 (as ELL-200?) SkU.4,
T-201 DHC-3 266 ex ELL-201 d/d 1958 (as ELL-201?) SkU.4,
T-202 DHC-3 Amphi. 300 d/d 1959 SkU.4,
T-203 DHC-3 Amphi. 303 d/d 1959 SkU.4,
T-204 DHC-3 306 d/d 1960 SkU.4,
T-205 DHC-3 309 d/d 1960 SkU.4,
T-206 DHC-3 315 d/d 1960 SkU.4,
Dari keenam pesawat tersebut 4 buah diantaranya kemudian dihibahkan ke Merpati Nusantara bersama dengan 2 buah Dakota. Adapun keempat DHC 3 yang dihibahkan ke Merpati adalah sebagai berikut :
T-202 DHC-3 Amphi jadi PK-NUF Merpati.
T-204 DHC-3 306 jadi PK-PHA Merpati.
T-205 DHC-3 309 jadi PK-PHB Merpati.
T-206 DHC-3 315 jadi PK-PHC Merpati.
Pada jaman Orde Lama TNI AU memiliki 6 buah de Havilland Otter/DHC-3 yang ditempatkan di Skuadron 4 keenam buah de Havilland Otter/DHC-3 yaitu dengan no register :
T-200 DHC-3 Amphi. 263 ex ELL-200 d/d 1958 (as ELL-200?) SkU.4,
T-201 DHC-3 266 ex ELL-201 d/d 1958 (as ELL-201?) SkU.4,
T-202 DHC-3 Amphi. 300 d/d 1959 SkU.4,
T-203 DHC-3 Amphi. 303 d/d 1959 SkU.4,
T-204 DHC-3 306 d/d 1960 SkU.4,
T-205 DHC-3 309 d/d 1960 SkU.4,
T-206 DHC-3 315 d/d 1960 SkU.4,
Dari keenam pesawat tersebut 4 buah diantaranya kemudian dihibahkan ke Merpati Nusantara bersama dengan 2 buah Dakota. Adapun keempat DHC 3 yang dihibahkan ke Merpati adalah sebagai berikut :
T-202 DHC-3 Amphi jadi PK-NUF Merpati.
T-204 DHC-3 306 jadi PK-PHA Merpati.
T-205 DHC-3 309 jadi PK-PHB Merpati.
T-206 DHC-3 315 jadi PK-PHC Merpati.
Grumman HU 16 C Albatros
PBY 5 Catalina
Lockheed L 12
Gambar di atas adalah RI 001 "Seulawah" sewaktu mengikuti operasi militer di Birma. Tampak berkaca mata tanpa baju Wiweko Supono menyaksikan tentara Birma embarkasi. Disamping Wiweko Supono adalah penerbang berkebangsaan Amerika Serikat Chat Brown.
Senapan Mesin Berat 12,7 mm dipasang pada C-47 untuk membuat sebuah gunship.Kelak akan bermanfaat pada Operasi Seroja di Timtim.
C 47 Dakota
IL 4
An12
NU-200 Si-Kumbang
NU-58 Si-Belalang 90
Si-Kunang 25
TNI AU mengalami popularitas nasional tinggi dibawah dipimpin oleh KASAU Kedua Marsekal Madya TNI Omar Dhani awal 1960-an.
Lavockhin La 11
Awak pesawat TU 2 bergambar sejenak di samping pesawat sebelum mengikuti penerbangan cross country di atas dataran China, para awaknya antara lain SMU Asari As, LMUS Buang Ariadi, SMU Daud Syah
Sebuah pesawat TU 2 sedang adalam persiapan penerbangan ke Indonesia
PZL-Mielec TS-8 Bies
Peluru kendali SA 2 milik TNI AU di tahun 1960an.
Peluru kendali SA 2 milik TNI AU di tahun 1977 dan latar belakangnya C 130 Hercules milik TNI AU.
Satuan Radar mobil yang mendukung operasional TNI AU
Pos-pos radar yang mendukung operasional TNI AU
Pantauan di pos komando
Kesatuan Pancar Gas atau skadron jet pertama di AURI.Ini pesawat DH-115 Vampire setelah selesai di rakit.
LA
11 datang tahun 1958, dan hanya sebentar berdinas di AURI, karena dalam
waktu 2-3tahun, digantikan pesawat buatan dari pabrikan MIG.
Awak pesawat TU 2 bergambar sejenak di samping pesawat sebelum mengikuti penerbangan cross country di atas dataran China, para awaknya antara lain SMU Asari As, LMUS Buang Ariadi, SMU Daud Syah
Sebuah pesawat TU 2 sedang adalam persiapan penerbangan ke Indonesia
TU 2
Tu-2
TNI AU hibah dari RRC. TU 2 datangnya sama seperti LA 11 tahun 1958,
sebelum era TU 16 dan Mig / Mil / IL. TU2 AURI, hanya bertahan sebentar
dinasnya (<1tahun) , karena mesinnya tidak cocok dengan iklim
tropis, ada beberapa rumors mengenai nasib TU 2 :
(1). dikembalikan ke USSR,
(2). dihibahkan ke salah satu negara aliansi USSR
(1). dikembalikan ke USSR,
(2). dihibahkan ke salah satu negara aliansi USSR
PZL-Mielec TS-8 Bies
Peluru kendali SA 2 milik TNI AU di tahun 1960an.
Peluru kendali SA 2 milik TNI AU di tahun 1977 dan latar belakangnya C 130 Hercules milik TNI AU.
Satuan Radar mobil yang mendukung operasional TNI AU
Pos-pos radar yang mendukung operasional TNI AU
Pantauan di pos komando
Sebelum
tahun berganti ke 1960, AURI menapakkan kakinya teramat tinggi dengan
mengoperasikan pesawat jet DH-115 Vampire buatan de Haviland Inggris.
Pesawat ini mulai memperkuat AURI pada Februari 1956. Pada tanggal 20
Maret 1957 diresmikan menjadi kekuatan utama pancar gas di bawah Skadron
11 (jet latih tempur).
Kesatuan Pancar Gas atau skadron jet pertama di AURI.Ini pesawat DH-115 Vampire setelah selesai di rakit.
Bukan secara kebetulan kalau Skadron
Udara 11 yang diresmikan 1 Juni 1957 mempunyai makna khusus bagi
Angkatan Udara Republik Indonesia. Pada masa itu kekuatan AURI berdasar
Skep Kasau Nomor 28A/11/KS/1951 tertanggal 23 April baru terdiri dari
lima skadron dengan sistem penomoran angka Romawi. Kedatangan delapan
unit jet DH (De Haviland)-115 Vampire dari Inggris merupakan awal dari
kelahiran skadron ini. Pesawat ini terlebih dulu ditempatkan di kesatuan
khusus, yakni Kesatuan Pancar Gas.
Akan tetapi kesatuan yang diresmikan 20 Februari 1956 ini tidak berumur panjang. Setahun berikutnya, pada 20 Maret 1957, KSAU memantapkannya menjadi Skadron XI menyusul kedatangan pesawat tempur MiG. KPG DH-115 pun dilebur ke dalam skadron ini. Angka sebelas tak lain Bari umur AURI ketika skadron jet tempur pertama ini dibentuk. Untuk itulah makna angka ini menjadi penting, terlebih karena sejak kelahiran Skadron 11, TNI AU mulai menata sistem penomoran skadron udaranya. Sebagai) mandan skadron pertama Lettu Udara Leo Watimena.
Selain perwira TNI AU seperti Leo Wattimena, sejumlah kadet penerbang ALRI yang tengah mengikuti pendidikan terbang di Inggris juga sempat mengecap terbang di Vampire seperti Lmd REBO Tjokrodiredjo dan AHK Hamami. Ketika Skadron 11 mulai operasional, kedua penerbang ini sempat diperbantukan ke AURI untuk mengawaki skadron sekaligus untuk memelihara kemampuan kedua penerbang.
Akan tetapi kesatuan yang diresmikan 20 Februari 1956 ini tidak berumur panjang. Setahun berikutnya, pada 20 Maret 1957, KSAU memantapkannya menjadi Skadron XI menyusul kedatangan pesawat tempur MiG. KPG DH-115 pun dilebur ke dalam skadron ini. Angka sebelas tak lain Bari umur AURI ketika skadron jet tempur pertama ini dibentuk. Untuk itulah makna angka ini menjadi penting, terlebih karena sejak kelahiran Skadron 11, TNI AU mulai menata sistem penomoran skadron udaranya. Sebagai) mandan skadron pertama Lettu Udara Leo Watimena.
Selain perwira TNI AU seperti Leo Wattimena, sejumlah kadet penerbang ALRI yang tengah mengikuti pendidikan terbang di Inggris juga sempat mengecap terbang di Vampire seperti Lmd REBO Tjokrodiredjo dan AHK Hamami. Ketika Skadron 11 mulai operasional, kedua penerbang ini sempat diperbantukan ke AURI untuk mengawaki skadron sekaligus untuk memelihara kemampuan kedua penerbang.
L 24/29 Doulphin
MIG 15 UTI Fagot
MIG 17 Fresco
MIG 19 Farmer
MIG 21 Fishbed
Ilyusin 14 Avia
Ilyusin 28
Tu-16
dengan nomar registrasi 16001, yang berarti pesawat pertama yang tiba
di Tanah Air. Karena kemampuan terbangnya yang jauh, tak jarang ketika
itu Tu-16 terbang hingga memasuki wilayah udara Australia atau Malaysia.
Sayang karena urusan politik, nasib Tu-16 berakhir muram. Kekurangan
suku cadang jadi penyebab utama untuk kemudian pesawat ini harus
gounded.
Terlihat rudal Kennel yang ditakuti, tergantung di sayap Tu-16.
TU 16 Badger
Pesawat Kepresidenan RI semasa Soekarno hadiah dari JF Kennedy
Mi 4
Alutsista dari blok timur hampir semua dijagal, trus potongan2nya dibawa ke amrik sebagai syarat pembelian pembelian pesawat T-33 thunderbird. Mi-6 sekarang kita cuman bisa liat fotonya doank, nyaris tanpa sisa utk heli satu ini
Mi 6
Sikorsky UH-34D Seahorse
PZL 104 Wilga ( Gelatik )
LT 200
Starlite
Sejumlah T-33 yang masih dengan warna asli putih dan baru saja dikirim dari Pangkalan Udara Subic, Filipina. Sebanyak 19 unit T-33 diterbangkan dari Subic menuju Lanud Iswahyudi oleh pilot-pilot USAF.
Suasana apel kesiagaan para pilot dan awak darat T-33 di Lanud Iswahyudi. Khusus pesawat untuk latihan, T-33 tetap menggunakan warna putih.
Khusus untuk T-33 yang telah dipersenjatai di cat warna hijau dengan logo ikan hiu di nose-nya.
Sejumlah T-33 yang dioperasikan dalam misi tempur sedang dipersiapkan di Lanud, Baucau , Timor Leste.
T 33 A T-Bird
Foto F-86 Sabre bawah adalah profil F-86 yang akan diterbangkan menuju Lanud lswahyudi. Bendera Merah Putih dan logo TNI AU sudah terpasang dan pesawat pun dalam kondisi slap tinggal landas.
Empat pilot F-86 Sabre sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan latihan terbang di Lanud Iswahyudi.
Sejumlah F-86 saat sedang latihan terbang.
CAC F 86 Avon Sabre
Cessna T 41 D
AS 202 Bravo
SF 260 MS / WS
T 34 C Turbo Mentor
KT 1 B Wong Bee
Penerjunan pasukan dari "pantat" Bronco
North American Rockwell OV-10F Bronco
BAe Hawk Mk 53
BAe Hawk Mk 109
BAe Hawk Mk 209
Northrop F-5F Tiger II
SU 27 Flangker
SU 30 MK Super Flangker
SU 27 Flangker & SU 30 MK Super Flangker
EMB-314 kokpit bagian tempat duduk belakang
EMB-314 Super Tucano
Piper
CN 212 Aviocar
CN 235 MPA Tetuko
Fokker 27 400 M
C 130 Hercules
Foker F 28
Boeing 737-2X9 Adv Surveiller
Dari segi performa, Camar Emas tidak kalah garang dengan pesawat pengintai yang telah terkenal seperti E-8-J-STARS (Joint Surveillance and Target Attack Radar System), E-3 Sentry AWACS, Bariev A-50 Mainstay AWACS, DC-8-72F SARIGUE NG, P-3C Orion atau radar terbang masa datang Australia B737-700 Wedgetail versi New Generation B737 yang dikonversi untuk kepentingan intelijen. Tidak percaya? Intip saja alat pengendus yang diusung.
Dihidungnya ada radar double agent AN/APS-504 (V)5. selain berfungsi konvensional, radar ini bisa diset mendeteksi sasaran di permukaan atau di udara. Jarak pindainya luar biasa, 256 Nm (Nano Meter). Navigasi dan komunikasinya juga kompak. Saat ini B737 dilengkapi sistem navigasi INS LTN-72R terintegrasi dengan GPS. Karena memainkan peran penting dalam air intelligence, komunikasi tidak saja masuk kategori wajib, tapi juga harus mempunyai tingkat aksesbilitas tinggi. Untuk B737, saluran telepon bisa terhubung langsung dengan komando pusat. Tampilan instrumen yang menawan (pilot color high resolution display), makin mempercanggih suasa kokpit.
Tugas pokok Skadron 5 adalah, melakukan pengintaian udara strategis dan pengawasan maupun pengamanan terhadap semua objek bergerak di permukaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan jalur lalu lintas damai. Informasi yang dihasilkan B737 sangat penting dalam masa perang dan damai. Kegiatan eksploitasi informasi dalam hubungannya dengan air power terdiri dari tiga hal. Yaitu informasi, reconnaissance, dan surveillace. Hubungan ketiga faktor ini dengan intelijen sangat erat.
Maritime Patrol ini dilengkapi peralatan Motorola AN/APS-135 SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar), suatu alat sensor dengan daya deteksi yang sangat kuat pada suatu daerah yang sangat luas. Dengan SLAMMR, Boing-737 ini mampu mendeteksi wilayah perairan seluas 85.000 mil persegi per jam. Di tambah lagi peralatan navigasi Internal Navigation System dan Omega Navigation System serta peralatan komunikasi modern.
Tiga pesawat Boeing-737 itu berbasis di Skadron Udara 5 Lanud Hasanuddin, Makassar, sejak 1 Juni 1982. Tahun 1993, ketiganya menjalani up-grade di tempat kelahirannya di Seattle, Amerika Serikat. Sehingga mengalami peningkatan kemampuan pada SLAMMR Real Time, Infra Red, Search Radar, serta sistem navigasi dan komunikasi yang diintegrasikan dengan DPDS (Data Processing Display System).
Dengan kemampuan yang dimiliki itu, Boeing-737 Maritime Patrol melakukan tugas pengawasan dan pengintaian di perairan Nusantara, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Di samping itu, mengawasi daerah musuh tanpa harus terbang di atas wilayahnya.
Dengan jumlah pesawat yang masih terbatas untuk memantau wilayah kita yang sangat luas, Skadron Udara 5 dituntut mampu mengoptimalkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang ada. “Dalam kondisi seperti ini kita tidak kenal menyerah. Berbekal basis pengetahuan yang dimiliki, kami mencoba mengombinasikan dengan pengalaman yang dihadapi dalam pemeliharaan di lapangan. Pengalaman itu kemudian menjadi pengetahuan yang baru bagi kami, untuk memperpanjang usia pakai peralatan,” kata Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 5, Kapten (Tek) Ifan BM.
Tanggal 14 September 1993, pesawat Boeing 737 AI-7301 kembali dari AS setelah mengalami peningkatan kemampuan dengan modifikasi. Adapun kemampuan yang ditingkatkan adalah Slammr Real Time, Infra Red Detection System (IRDS), Search Radar, sistem navigasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan DPDS (Data Proccessing Display System). Sedangkan untuk pesawat AI-7303 modifikasi dilakukan di IPTN (sekarang PT DI) Bandung. Terakhir kita melihat kiprah pesawat ini saat turut mencari lokasi jatuhnya pesawat Adam Air di laut Sulawesi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Maritime Patrol didukung 64 kru, yang terdiri dari dua orang instruktur/kapten pilot, 12 co-pilot, 16 juru mesin udara (engineering), lima juru muat udara (load master), 10 operator console, 14 observer, tiga juru foto udara, dan dua flight surgeon.
Spesifikasi Boeing 737-200 2X9 Surveiller
Ukuran
Lebar sayap = 28,35 m (93 ft 01 in)
Tinggi = 11,23 m (36 ft 84 in)
Panjang keseluruhan = 30,53 m (100 ft 16in)
Lebar kabin (lantai tingkat) = 3,3 m (10 ft 8 in)
Panjang Kabin = 28,2 m (92 ft 8 in)
Desain
Berat Maksimum Take off= 53.297 kg (117 £ 498)
Berat Maksimum Landing = 47.627 kg (104 £ 998)
Berat Maksimum Bahan Bakar Kosong = 43.090 kg (94 £ 996)
Berat Kosong Operasi = 29.400 kg (64 £ 815)
Kemampuan
Daya Jelajah = 760 km/h (410 kts)
Ketinggian = 10.668 m (35.000 ft)
Kapasitas = 107 Penumpang
Kapasitas Volume Bahan Bakar = 15 635 kg
Boeing 737-400
Boeing 707
Capt Penerbang Rahadi S dengan Bell 47 di Lanud Atang Senjaya, Semplak Bogor 1978.
Bell-47G-3B1
EC 120 Colibri
NBO 105
S 58 Twin Pack
AS 330 Puma
AS 332 Super Puma
DAFTAR PANGKALAN UDARA TNI AU
LOKASI LANDASAN UDARA TNI AU YANG OPERASIONAL :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R
Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E
Elev: 1726 ft
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
LAMBANG SKUADRON UDARA TNI AU YANG PERNAH ADA :
LANDASAN UDARA DENGAN SKUADRON UDARA TNI AU YANG BERPANGKALAN DI LANUD TERSEBUT :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Skadron Udara 5
B737-2X9
CN235-220-MPA
Skadron Udara 11
Su-27SK
Su-27SKM
Su-30MK
Su-30MK2
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Skadron Pendidikan 101
AS202/18A-3
Skadron Pendidikan 102
T-34C
KT-1B
Jupiter Aerobatic Team
KT-1B
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Skadron Udara 6
NAS332(TT)
Skadron Udara 8
SA330J
NSA330L
NSA330SM
BASARNAS
NBo105CB
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 3 "Sarang Naga" ("Dragon's Nest)
F-16A
F-16B
Skadron Udara 14
F-5E
F-5F
Skadron Udara 15
Hawk Mk53
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E Elev: 1726 ft
Skadron Udara 4
NC212M-100
NC212M-200
Skadron Udara 32
C-130B
KC-130B
C-130H
Skadron Udara 21
EMB-314
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Skadron Udara 12 "Panther Hitam" ("Black Panthers")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Skadron Udara 2
CN235-100M
F27-400M
SF260MS
SF260WS
Skadron Udara 17 "Kereta Kencana" ("Golden Chariots")
B737-2Q8
F27-400M
F28-1000
F28-3000
L100-30
C-130H-30
NAS332L1
AS332L2
Skadron Udara 31
L100-30
C-130H-30
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 7
EC120B
Bell 47G-3B-1
Skadron Udara 2 det.
SF260MS
SF260WS
SATUD TANI
PC-6B
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
FASI
AS202/18A-3
L-4J
Aviat Husky A-1
PZL-104
An-2
Gliders
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
Skadron Udara 1 "Elang Khatulistiwa" ("Equatorial Eagles")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
PANGLIMA TNI AU YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KASAU :
Tu-16,
Pembom Strategis Yang Menakutkan. Meski sekarang sering dilecehkan,
setidaknya TNI AU pernah merasakan menjadi yang terkuat tidak cuma di
Asia Tenggara tapi bisa jadi di Asia. Sebagai perbandingan, ketika itu
China, India, dan Australia belum punya pembom strategis atau jet tempur
Mach 2. Hanya AS yang mengoperasikan pembom B-58 Hustler, Inggris
dengan V bombernya, dan tentu Rusia sendiri. Khusus untuk Tu-16, selain
Indonesia juga dioperasikan oleh Mesir.
Untuk
saat itu, keberadaan Tu16 memang cukup menakutkan. Dengan jangkauan
terbang hingga 7.200 km, kecepatan mencapai 1.050 km per jam, dan
ketinggian terbang hingga 12.800 km, wajar saja AURI sangat disegani.
Apalagi muatan born yang bisa dibawa mencapai 9.000 kg. Ketika itu Tu16
dibeli untuk menutupi kemampuan B-25 yang sangat terbatas, disamping
tentu embargo suku cadang dari AS. Saat itu AURI mengoperasikan Tu-16 di
bawah kendali Wing Operasi 003. Wing ini membawahi Skadron 31 dengan
kekuatan 14 Tu-16 Badger A sebagai skadron pembom strategis, dan Skadron
42 dengan 12 Tu-16 Badger B KS sebagai skadron peluru kendali udara ke
darat.
“Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di pengujung tahun 1950-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, AURI ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. Mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan keinginan BK kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (Suryadarma) menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan.”
Ketika ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun yang saat itu Sekretaris Dewan Penerbangan/ Sekretaris Gabungan Kepalakepala Staf kepada Suryadarma pada tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis. B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta) malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, AS mengembargo suku cadangnya Alhasil, gagasan memilild Tu-16 semakin terbuka.
Salatun yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957, menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana pembelian Tu-16, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, turut diperpanjang.
Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, barn terealisasi 1 Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Saat lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, China pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, China diminta menalangi dulu pembeliannya. Usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan China-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya malah China menawarkan Tu-4M Bull. Misi Salatun ke China sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang. Pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukanlah semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata. Padahal di saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskwa bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai tiba di Moskwa, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategic selain Amerika, Inggris, dan Rusia sendiri. Hebatnya lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu16 dengan Anti Radiation Paint yaitu cat khusus antiradiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya born nuklir,” tutur Salatun. Usul ditolak.
Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai 1 Juli 1961, ke24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama M-1601 yang mendarat di Kemayoran diterbangkan oleh Komodor Udara Cok Suroso Hurip. Peristiwa ini mendapat perhatian luas terutama dan kalangan intel AS.
Kesempatan pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dan dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. Pesawat intai canggih saat itu U-2 Dragon Lady pun dilibatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat Blok Timur lainnya berjejer di Madiun.
Persiapan Trikora
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan Selatan. Dalam mendukung Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya. Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Selain memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41, AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal antikapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Hantaman enam Kennel mampu menenggelamkan Karel Doorman: Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung born Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket operation.
Awak Tu-16 di Morotai ini tidak akan pernah melupakan jerih payah ground crew. “Paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah Tu-16 dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan Tu-16. Apa pasalnya? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.
Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang. Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora. Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar perbatasan.
Misi ala stealth
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Walau begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner Tu-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia.
Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.
Penyusupan ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua Tu-16 kembali dengan selamat.
Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Sebenarnya RI tidak sendirian saat itu. India memberikan dukungan penuh. Hal ini terungkap ketika Zainal Sudarmadji bertemu dengan seorang pejabat tinggi India. “Bila Indonesia jadi menyerang semenanjung Malaya, AU India akan menyediakan air space-nya antara ketinggian 15.000 -30.000 kaki untuk tempat berputar armada Tu-16 AURI sebelum melakukan pemboman. Bahkan AU India akan menjaga sekitar indara point di kepulauan Andaman Nicobar, agar bebas dari gangguan elektronik Inggris (SEATO),” tuturnya saat itu kepada Zainal.
Nasib Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T -Bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak dapat dipungkiri, Tu-16 paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, las pun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang aluminium,” ujar Bagio.
Namun Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun. “Kami terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran. Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora-Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16 ke Mesir.
Namun pasca G30S, kondisi pesawat-pesawat Rusia memang tragis. Seingat Suwandi Sudjono, pilot Tu-16, dalam setahun paling hanya 12 kali mereka menerbangkan Tu-16. Karena itu kanibalisasi tak terelakkan agar sejumlah pesawat tetap bisa terbang. Akhirnya pada Oktober 1970 dilakukan test flight Tu-16 nomor M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Tidak mudah karena adanya ketidakOckan suku cadang. Namun mereka masih berbesar hati karena menurut Subagyo yang mantan Komandan Wing Logistik 040, mesinnya masih banyak. Setidaknya ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, tanpa suku cadang yang lainnya.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Pnb Suwandi membawa krunya yaitu Kapten Pnb Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav Beny Subyanto menerbangkan M-1625. Pada hari itu, M-1625 adalah satu-satunya Tu-16 yang tersisa dan dalam kondisi siap terbang. Sungguh tragis!
Begitulah nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat kesasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pemborn strategic mampu memberikan efek psikologis bagi lawanlawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 1980-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.
Sekian tahun hidup dalam kedigdayaan, sampailah AURI (juga ALRI) pada masa yang teramat pahit. Pasokan suku cadang terhenti, nasib pesawat tak jelas. Ditulis oleh Harold Crouch (Politik dan Militer di Indonesia, 1978), AL dan AU yang bergantung pada teknologi yang lebih maju dari AD tidak dapat memelihara lagi dengan baik peralatannya.
Pada awal 1970, KSAU Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan, hanya 15-20% pesawat AURI yang dapat diterbangkan, kapal ALRI hanya 40% karena ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian dikenang sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur.
Kennel (Rudal Bongsor Yang Membuat Pusing Belanda & Sekutunya)
Jauh sebelum era Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, TNI di tahun 60-an sudah mempunyai rudal lintas cakrawala, alias over the horizon. Rudal yang dimaksud adalah AS-1 Kennel. Rudal ini terbilang fenomenal saat itu dan kenangannya masih cukup menarik untuk disimak hingga saat ini, pasalnya ukuran rudal jelajah ini super bongsor dan sampai kini cuma Indonesia, negara di kawasan Asia Tenggara yang punya riwayat mengoperasikan rudal yang masuk kategori heavy missile tersebut. Walau teknologi dan platformnya ketinggalan jauh dengan rudal Tomahawk milik AS, tapi saat operasi Trikora dikobarkan Ir. Soekarno, daya deteren Kennel nyatanya mampu membuat pusing pihak Belanda, Amerika Serikat dan NATO.
AS-1 Kennel (dalam kode aslinya dari Uni Soviet disebut KS-1 Komet) merupakan rudal antikapal permukaan yang diproduksi Uni Soviet pada 1953 dengan basis konstruksi pesawat MIG-15 dan MIG-17. Rudal yang disiapkan untuk dibopong bomber strategis Tupolev Tu-16 Badger B ini dibuat setelah desakan AL Uni Soviet kala itu untuk memiliki rudal jelajah antikapal. Tu-16 mampu membawa sekaligus dua rudal seberat lebih dari 3 ton ini di kedua sayapnya. AS-1 yang berkecepatan sub sonic ditenagai mesin turbojet yang mampu membuatnya mampu menjangkau sasaran sejauh 100 km.
Dengan bobot sekitar 3 ton, AS-1 dibekali hulu ledak seberat 600 Kg High Explosive. Tak ayal dengan daya hantam yang menakutkan membuat kala konflik Indonesia vs Belanda, rudal ini menjadi salah satu alutsista TNI yang sangat diperhitungkan oleh militer Belanda. Bahkan beberapa analis menyatakan, kapal induk kebanggaan Belanda yang kala itu ikut mangkal diperairan Irian (HNLMS Karel Doorman) dapat dihancurkan dengan dua hantaman rudal Kennel.
AS-1 dirancang oleh A. Ya Bereznyak dari Mikoyan’s di kota Dhubna, Uni Soviet. Cara kerja rudal ini adalah setelah operator memprogram autopilotnya untuk diluncurkan dan menanjak dan menggunakan radar semiaktif untuk sistem terminal flight. Rudal ini diperkirakan mulai operasional pada sekitar tahun 1961. Sayang tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah Kennel yang dibeli oleh Indonesia. Tapi bila sekedar ingin melihat sosok rudal ber-air intake ini bisa dijumpai di Museum Dirgantara Yogyakarta.
AS-1 Kennel sendiri umurnya tak terlalu panjang, Uni Soviet hanya mengoperasikan rudal ini dalam rentang 1955 sampai 1961. Seiring hangat-hangatnya lomba senjata dalam Perang Dingin, pihak Uni Soviet lalu mengembangkan rudal lain dalam platform Kennel, yakni masing-masing SSC-2a Salish dan SSC-2b Samlet. Jika Salish diluncurkan dari kendaraan semitrailer yang menarik truk traktor peluncur KrAz-214, maka Samlet adalah rudal pantai yang diluncurkan dari truk ZIL-157V. Secara umum AS-1 yang selintas nyaris sebesar MIG-15 memiliki panjang 8,2 meter (MIG : 10,11 m), rentang sayap 4,9 meter dan kecepatan 0,9 mach. Sejauh ini yang diketahui mengoperasikan selain Uni Soviet (Rusia) adalah Indonesia dan Mesir.
Spesifikasi AS-1 Kennel
Kode soviet : KS-1 Komet
Propulsi : turbojet
Pemandu : terminal active radar terminal homing
Hulu ledak : 600 kg HE
Penggerak : RD-500K turbojet
Jangkauan : 140 km
Berat lontar : 3000 kg
Panjang : 8,29 meter
Diameter : 1,20 meter
Pabrik : Mikoyan
Platform : Tu-16 Badger
C 140 Jetstar “Tu-16 masih dalam pengembangan dan belum siap untuk dijual,” ucap Dubes Rusia untuk Indonesia Zhukov kepada Bung Karno (BK) suatu siang di pengujung tahun 1950-an. Ini menandakan, pihak Rusia masih bimbang untuk meluluskan permintaan Indonesia membeli Tu-16. Tapi apa daya Rusia, AURI ngotot. BK terus menguber Zhukov tiap kali bersua. Mungkin bosan dikuntit terus, Zhukov melaporkan keinginan BK kepada Menlu Rusia Mikoyan. Usut punya usut, kenapa BK begitu semangat? Ternyata, Letkol Salatun-lah pangkal masalahnya. “Saya ditugasi Pak Surya (Suryadarma) menagih janji Bung Karno setiap ada kesempatan.”
Ketika ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun yang saat itu Sekretaris Dewan Penerbangan/ Sekretaris Gabungan Kepalakepala Staf kepada Suryadarma pada tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis. B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta) malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, AS mengembargo suku cadangnya Alhasil, gagasan memilild Tu-16 semakin terbuka.
Salatun yang menemukan proyek Tu-16 dari majalah penerbangan asing tahun 1957, menyampaikannya kepada Suryadarma. “Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” jelasnya kepada KSAU. “Bagaimana pangkalannya,” tanya Pak Surya. “Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun. Seiring disetujuinya rencana pembelian Tu-16, landas pacu Lanud Iswahyudi, Madiun, turut diperpanjang.
Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, barn terealisasi 1 Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Saat lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, China pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, China diminta menalangi dulu pembeliannya. Usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan China-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya malah China menawarkan Tu-4M Bull. Misi Salatun ke China sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang. Pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukanlah semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata. Padahal di saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskwa bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai tiba di Moskwa, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategic selain Amerika, Inggris, dan Rusia sendiri. Hebatnya lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu16 dengan Anti Radiation Paint yaitu cat khusus antiradiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya born nuklir,” tutur Salatun. Usul ditolak.
Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai 1 Juli 1961, ke24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama M-1601 yang mendarat di Kemayoran diterbangkan oleh Komodor Udara Cok Suroso Hurip. Peristiwa ini mendapat perhatian luas terutama dan kalangan intel AS.
Kesempatan pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dan dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. Pesawat intai canggih saat itu U-2 Dragon Lady pun dilibatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat Blok Timur lainnya berjejer di Madiun.
Persiapan Trikora
Saat Trikora dikumandangkan, angkatan perang Indonesia sedang berada pada “puncaknya”. Lusinan persenjataan Blok Timur dimiliki. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan Selatan. Dalam mendukung Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. “Kita siaga 24 jam di sana,” ujar Kolonel (Pur) Sudjijantono, salah satu penerbang Tu-16. “Sesekali terbang untuk memanaskan mesin. Tapi belum pernah membom atau kontak senjata dengan pesawat Belanda,” ceritanya. Saat itu, dikalangan pilot Tu-16 punya semacam target favorit, yaitu kapal induk Belanda Karel Doorman.
Selain memiliki 12 Tu-16 versi bomber (Badger A) yang masuk dalam Skadron 41, AURI juga memiliki 12 Tu-16 KS-1 (Badger B) yang masuk dalam Skadron 42 Wing 003 Lanud Iswahyudi. Versi ini mampu membawa sepasang rudal antikapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Rudal inilah yang ditakuti Belanda. Hantaman enam Kennel mampu menenggelamkan Karel Doorman: Sayangnya, hingga Irian Barat diselesaikan melalui PBB atas inisiatif pemerintah Kennedy, Karel Doorman tidak pernah ditemukan.
Lain lagi kisah Idrus Abas (saat itu Sersan Udara I), operator radio sekaligus penembak ekor (tail gunner) Tu-16. Mei 1962, saat perundingan RI-Belanda berlangsung di PBB, merupakan saat paling mendebarkan. Awak Tu-16 disiagakan di Morotai. Dengan bekal radio transistor, mereka memonitor hasil perundingan. Mereka diperintahkan, “Kalau perundingan gagal, langsung born Biak,” ceritanya mengenang. “Kita tidak tahu, apakah bisa kembali atau tidak setelah mengebom,” tambah Sjahroemsjah yang waktu itu berpangkat Sersan Udara I, rekan Idrus yang bertugas sebagai operator radio/tail gunner. Istilahnya, one way ticket operation.
Awak Tu-16 di Morotai ini tidak akan pernah melupakan jerih payah ground crew. “Paling susah kalau isi bahan bakar. Bayangkan untuk sebuah Tu-16 dibutuhkan sampai 70 drum bahan bakar. Kadang ngangkutnya tidak pakai pesawat, jadi langsung diturunkan dari kapal laut. Itupun dari tengah laut. Makanya, sering mereka mendorong dari tengah laut,” ujar Idrus. Derita awak darat itu belum berakhir, lantaran untuk memasukkan ke tangki pesawat yang berkapasitas kurang lebih 45.000 liter itu, masih menggunakan cara manual. Di suling satu per satu dari drum hingga empat hari empat malam. Hanya sebulan Tu-16 di Morotai, sebelum akhirnya ditarik kembali ke Madiun usai Trikora.
Kennel memang tidak pernah ditembakkan. Tapi ujicoba pernah dilakukan sekitar tahun 1964-1965. Kennel ditembakkan ke sebuah pulau karang di tengah laut, persisnya antara Bali dan Ujung Pandang. “Nama pulaunya Arakan,” aku Hendro Subroto, mantan wartawan TVRI. Dalam ujicoba, Hendro mengikuti dari sebuah C-130 Hercules bersama KSAU Omar Dhani. Usai peluncuran, Hercules mendarat di Denpasar. Dari Denpasar, dengan menumpang helikopter Mi-6, KSAU dan rombongan terbang ke Arakan melihat perkenaan. “Tepat di tengah, plat bajanya bolong,” jelas Hendro.
Diuber Javelin
Lebih tepat, di masa Dwikoralah awak Tu-16 merasakan ketangguhan Tu-16. Apa pasalnya? Ternyata, berkali-kali pesawat ini dikejar pesawat tempur Inggris. Rupanya, Inggris menyadap percakapan AURI di Lanud Polonia Medan dari Butterworth, Penang.
“Jadi mereka tahu kalau kita akan meluncur,” ujar Marsekal Muda (Pur) Syah Alam Damanik, penerbang Tu-16 yang sering mondar-mandir di selat Malaka.
Damanik menuturkan pengalamannya di kejar Javelin pada tahun 1964. Damanik terbang dengan ko-pilot Sartomo, navigator Gani dan Ketut dalam misi kampanye Dwikora.
Pesawat diarahkan ke Kuala Lumpur, atas saran Gani. Tidak lama kemudian, dua mil dari pantai, Penang (Butterworth) sudah terlihat. Mendadak, salah seorang awak melaporkan bahwa dua pesawat Inggris take off dari Penang. Damanik tahu apa yang harus dilakukan. Dia berbelok menghindar. “Celaka, begitu belok, nggak tahunya mereka sudah di kanan-kiri sayap. Cepat sekali mereka sampai,” pikir Damanik. Javelin-Javelin itu rupanya berusaha menggiring Tu-16 untuk mendarat ke wilayah Singapura atau Malaysia (forced down). Dalam situasi tegang itu, “Saya perintahkan semua awak siaga. Pokoknya, begitu melihat ada semburan api dari sayap mereka (menembak-Red), kalian langsung balas,” perintahnya. Perhitungan Damanik, paling tidak sama-sama jatuh. Anggota Wara (wanita AURI) yang ikut dalam misi, ketakutan. Wajah mereka pucat pasi.
Dalam keadaan serba tak menentu, Damanik berpikir cepat. Pesawat ditukikkannya untuk menghindari kejaran Javelin. Mendadak sekali. “Tapi, Javelin-Javelin masih saja nempel. Bahkan sampai pesawat saya bergetar cukup keras, karena kecepatannya melebihi batas (di atas Mach 1).” Dalam kondisi high speed itu, sekali lagi Damanik menunjukkan kehebatannya. Ketinggian pesawat ditambahnya secara mendadak. Pilot Javelin yang tidak menduga manuver itu, kebablasan. Sambil bersembunyi di balik awan yang menggumpal, Damanik membuat heading ke Medan.
Segenap awak bersorak kegirangan. Tapi kasihan yang di ekor (tail gunner). Mereka berteriak ternyata bukan kegirangan, tapi karena kena tekanan G yang cukup besar saat pesawat menanjak. Akibat manuver yang begitu ketat saat kejar-kejaran, perangkat radar Tu-16 jadi ngadat. “Mungkin saya terlalu kasar naiknya. Tapi nggak apa-apa, daripada dipaksa mendarat oleh Inggris,” ujar Damanik mengenang peristiwa itu.
Lain lagi cerita Sudjijantono. “Saya ditugaskan menerbangkan Tu-16 ke Medan lewat selat Malaka di Medan selalu disiagakan dua Tu-16 selama Dwikora. Satu pesawat terbang ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan,” katanya. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra.
Walau terkesan “gila-gilaan”, misi ini tetap sesuai perintah. BK memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan. Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti “polisi”, untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan keluar perbatasan.
Misi ala stealth
Masih dalam Dwikora. Pertengahan 1963, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat ke Serawak, satunya ke Sandakan dan Kinibalu, Kalimantan. Keduanya wilayah Malaysia. Pesawat ketiga ke Australia. Khusus ke Australia, Tu-16 yang dipiloti Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet. Tapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (persis di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psi-war buat Australia,” ujar Salatun.
Padahal Alice Springs ditongkrongi over the horizon radar system. “Untuk memantau seluruh kawasan Asia Pasifik,” ujar Marsma (Pur) Zainal Sudarmadji, pilot Tu-16 angkatan Ciptoning II.
Walau begitu, misi tetap dijalankan. Pesawat diberangkatkan dari Madiun sekitar jam satu malam. “Pak Wondo (pilot pesawat-Red) tak banyak komentar. Beliau hanya minta, kita kumpul di Wing 003 pukul 11 malam dengan hanya berbekal air putih,” ujar Sjahroemsjah, gunner Tu-16 yang baru tahu setelah berkumpul bahwa mereka akan diterbangkan ke Australia.
Briefing berjalan singkat. Pukul 01.00 WIB, pesawat meninggalkan Madiun. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, tidak terjadi apa-apa. Pesawat pencegat F-86 Sabre pun tak terlihat aktivitasnya, rudal anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo berputar agak jauh, ketika tiba di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata Sjahroemsjah.
Penyusupan ke Sandakan, dipercayakan ke Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Iswahyudi (Madiun) jam 12 malam. Pesawat membumbung hingga 11.000 m. Menjelang adzan subuh, mereka tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Seperti berebutan, pamflet berhamburan keluar disedot angin yang berhembus kencang.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Rupanya, aku Sudjijantono, Inggris mengajari penduduk cara mengantisipasi serangan udara. Akhirnya, setelah semua pamflet diserakkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pukul 08.30 pagi. Artinya, kurang lebih sepuluh jam penerbangan. Semua Tu-16 kembali dengan selamat.
Dapat dibayangkan, pada dekade 60-an AURI sudah sanggup melakukan operasi-operasi penyusupan udara tanpa terdeteksi radar lawan. Kalaulah sepadan, bak operasi NATO ke Yugoslavia dengan pesawat silumannya.
Sebenarnya RI tidak sendirian saat itu. India memberikan dukungan penuh. Hal ini terungkap ketika Zainal Sudarmadji bertemu dengan seorang pejabat tinggi India. “Bila Indonesia jadi menyerang semenanjung Malaya, AU India akan menyediakan air space-nya antara ketinggian 15.000 -30.000 kaki untuk tempat berputar armada Tu-16 AURI sebelum melakukan pemboman. Bahkan AU India akan menjaga sekitar indara point di kepulauan Andaman Nicobar, agar bebas dari gangguan elektronik Inggris (SEATO),” tuturnya saat itu kepada Zainal.
Nasib Sang Bomber
Sungguh ironis nasib akhir Tu-16 AURI. Pengadaan dan penghapusannya lebih banyak ditentukan oleh satu perkara: politik! “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T -Bird dari Amerika,” ujar Bagio Utomo, mantan anggota Skatek 042 yang mengurusi perbaikan Tu-16. Bagio menuturkan kesedihannya ketika terlibat dalam tim “penjagalan” Tu-16 pada tahun 1970.
Tidak dapat dipungkiri, Tu-16 paling maju pada zamannya. Selain dilengkapi peralatan elektronik canggih, badannya terbilang kukuh. “Badannya tidak mempan dibelah dengan kampak paling besar sekalipun. Harus pakai las yang besar. Bahkan, untuk membongkar sambungan antara sayap dan mesinnya, las pun tak sanggup. Karena campuran magnesiumnya lebih banyak ketimbang aluminium,” ujar Bagio.
Namun Tu-16 bukan tanpa cacat. Konyol sekali, beberapa bagian pesawat bisa tidak cocok dengan spare pengganti. Bahkan dengan spare yang diambil secara kanibal sekalipun. “Kami terpaksa memakai sistem kerajinan tangan, agar sama dan pas dengan kedudukannya. Seperti blister (kubah kaca), mesti diamplas dulu,” kenang Bagio lagi. Pengadaan suku cadang juga sedikit rumit, karena penempatannya yang tersebar di Ujung Pandang dan Kemayoran. Sebenarnya, persediaan suku cadang Tu-16 yang dipasok dari Rusia cukup memadai. Tapi urusan politik membelitnya sangat kuat. Tak heran kemudian, usai pengabdiannya selama Trikora-Dwikora dan di sela-sela nasibnya yang tak menentu pasca G30S/PKI, AURI pernah bermaksud menjual armada Tu-16 ke Mesir.
Namun pasca G30S, kondisi pesawat-pesawat Rusia memang tragis. Seingat Suwandi Sudjono, pilot Tu-16, dalam setahun paling hanya 12 kali mereka menerbangkan Tu-16. Karena itu kanibalisasi tak terelakkan agar sejumlah pesawat tetap bisa terbang. Akhirnya pada Oktober 1970 dilakukan test flight Tu-16 nomor M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Tidak mudah karena adanya ketidakOckan suku cadang. Namun mereka masih berbesar hati karena menurut Subagyo yang mantan Komandan Wing Logistik 040, mesinnya masih banyak. Setidaknya ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, tanpa suku cadang yang lainnya.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Pnb Suwandi membawa krunya yaitu Kapten Pnb Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav Beny Subyanto menerbangkan M-1625. Pada hari itu, M-1625 adalah satu-satunya Tu-16 yang tersisa dan dalam kondisi siap terbang. Sungguh tragis!
Begitulah nasib Tu-16. Tragis. Farewell flight, penerbangan perpisahannya, dirayakan oleh para awak Tu-16 pada Oktober 1970 menjelang HUT ABRI. Dijejali 10 orang, Tu-16 bernomor M-1625 diterbangkan dari Madiun ke Jakarta. “Sempat kesasar waktu kita cari Monas,” ujar Zainal Sudarmadji. Saat mendarat lagi di Madiun, bannya meletus karena awaknya sengaja mengerem secara mendadak.
Patut diakui, keberadaan pemborn strategic mampu memberikan efek psikologis bagi lawanlawan Indonesia saat itu. Bahkan, sampai pertengahan 1980-an, Tu-16 AURI masih dianggap ancaman oleh AS. “Wong nama saya masih tercatat sebagai pilot Tu-16 di ruang operasi Subic Bay,” ujar Sudjijantono, angkatan Cakra 1.
Sekian tahun hidup dalam kedigdayaan, sampailah AURI (juga ALRI) pada masa yang teramat pahit. Pasokan suku cadang terhenti, nasib pesawat tak jelas. Ditulis oleh Harold Crouch (Politik dan Militer di Indonesia, 1978), AL dan AU yang bergantung pada teknologi yang lebih maju dari AD tidak dapat memelihara lagi dengan baik peralatannya.
Pada awal 1970, KSAU Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan, hanya 15-20% pesawat AURI yang dapat diterbangkan, kapal ALRI hanya 40% karena ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian dikenang sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur.
Blue Print dari AS-1 Kennel
AS-1 Kennel di sayap pembom Tu-16 TNI AU
Jauh sebelum era Exocet, Harpoon, C-802 dan Yakhont, TNI di tahun 60-an sudah mempunyai rudal lintas cakrawala, alias over the horizon. Rudal yang dimaksud adalah AS-1 Kennel. Rudal ini terbilang fenomenal saat itu dan kenangannya masih cukup menarik untuk disimak hingga saat ini, pasalnya ukuran rudal jelajah ini super bongsor dan sampai kini cuma Indonesia, negara di kawasan Asia Tenggara yang punya riwayat mengoperasikan rudal yang masuk kategori heavy missile tersebut. Walau teknologi dan platformnya ketinggalan jauh dengan rudal Tomahawk milik AS, tapi saat operasi Trikora dikobarkan Ir. Soekarno, daya deteren Kennel nyatanya mampu membuat pusing pihak Belanda, Amerika Serikat dan NATO.
AS-1 Kennel (dalam kode aslinya dari Uni Soviet disebut KS-1 Komet) merupakan rudal antikapal permukaan yang diproduksi Uni Soviet pada 1953 dengan basis konstruksi pesawat MIG-15 dan MIG-17. Rudal yang disiapkan untuk dibopong bomber strategis Tupolev Tu-16 Badger B ini dibuat setelah desakan AL Uni Soviet kala itu untuk memiliki rudal jelajah antikapal. Tu-16 mampu membawa sekaligus dua rudal seberat lebih dari 3 ton ini di kedua sayapnya. AS-1 yang berkecepatan sub sonic ditenagai mesin turbojet yang mampu membuatnya mampu menjangkau sasaran sejauh 100 km.
Dengan bobot sekitar 3 ton, AS-1 dibekali hulu ledak seberat 600 Kg High Explosive. Tak ayal dengan daya hantam yang menakutkan membuat kala konflik Indonesia vs Belanda, rudal ini menjadi salah satu alutsista TNI yang sangat diperhitungkan oleh militer Belanda. Bahkan beberapa analis menyatakan, kapal induk kebanggaan Belanda yang kala itu ikut mangkal diperairan Irian (HNLMS Karel Doorman) dapat dihancurkan dengan dua hantaman rudal Kennel.
AS-1 dirancang oleh A. Ya Bereznyak dari Mikoyan’s di kota Dhubna, Uni Soviet. Cara kerja rudal ini adalah setelah operator memprogram autopilotnya untuk diluncurkan dan menanjak dan menggunakan radar semiaktif untuk sistem terminal flight. Rudal ini diperkirakan mulai operasional pada sekitar tahun 1961. Sayang tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah Kennel yang dibeli oleh Indonesia. Tapi bila sekedar ingin melihat sosok rudal ber-air intake ini bisa dijumpai di Museum Dirgantara Yogyakarta.
AS-1 Kennel sendiri umurnya tak terlalu panjang, Uni Soviet hanya mengoperasikan rudal ini dalam rentang 1955 sampai 1961. Seiring hangat-hangatnya lomba senjata dalam Perang Dingin, pihak Uni Soviet lalu mengembangkan rudal lain dalam platform Kennel, yakni masing-masing SSC-2a Salish dan SSC-2b Samlet. Jika Salish diluncurkan dari kendaraan semitrailer yang menarik truk traktor peluncur KrAz-214, maka Samlet adalah rudal pantai yang diluncurkan dari truk ZIL-157V. Secara umum AS-1 yang selintas nyaris sebesar MIG-15 memiliki panjang 8,2 meter (MIG : 10,11 m), rentang sayap 4,9 meter dan kecepatan 0,9 mach. Sejauh ini yang diketahui mengoperasikan selain Uni Soviet (Rusia) adalah Indonesia dan Mesir.
Spesifikasi AS-1 Kennel
Kode soviet : KS-1 Komet
Propulsi : turbojet
Pemandu : terminal active radar terminal homing
Hulu ledak : 600 kg HE
Penggerak : RD-500K turbojet
Jangkauan : 140 km
Berat lontar : 3000 kg
Panjang : 8,29 meter
Diameter : 1,20 meter
Pabrik : Mikoyan
Platform : Tu-16 Badger
Pesawat Kepresidenan RI semasa Soekarno hadiah dari JF Kennedy
Mi 4
Alutsista dari blok timur hampir semua dijagal, trus potongan2nya dibawa ke amrik sebagai syarat pembelian pembelian pesawat T-33 thunderbird. Mi-6 sekarang kita cuman bisa liat fotonya doank, nyaris tanpa sisa utk heli satu ini
Mi 6
Menurut
kesaksian para pilot yang pernah mengoperasikan helikopter Mil Mi-6
Hook ini, banyak kelemahan teknis yang tidak sesuai dengan yang
ditawarkan Uni Soviet seperti kecepatan jelajah yang hanya menjapai
170-175 km/jam, tidak sampai 200 km/jam. Jarak terbangnya yang pendek
karena bahan bakarnya hanya cukup untuk 2 jam terbang sehingga kalau
pergi ke suatu tempat harus dapat mendarat karena tidak mungkin kembali.
Terbang jelajah yang pernah diperoleh maksimum adalah 2 jam 54 menit
yakni dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung hingga Tanjung Perak di
Surabaya, itupun dengan muatan yang tidak terlalu penuh.
Sikorsky UH-34D Seahorse
PZL 104 Wilga ( Gelatik )
PZL
104 Wilga atau Gelatik (anama lokalnya) mualai dipakai TNI AU tahun
1964. 22 buah langsung dikirim langsung dari Polandia dan 17 buah
diproduksi secara local di Bandung. Pengiriman terakhir bulan Oktober
1979. Saat ini ada beberapa yang masih digunakan oleh FASI untuk
penarik pesawat terbang layang (glider).
LT 200
IN-202 modifikasi dari Pazmany PL-2, dibuat oleh perintis dari IPTN yaitu Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio)
Starlite
Sejumlah T-33 yang masih dengan warna asli putih dan baru saja dikirim dari Pangkalan Udara Subic, Filipina. Sebanyak 19 unit T-33 diterbangkan dari Subic menuju Lanud Iswahyudi oleh pilot-pilot USAF.
Suasana apel kesiagaan para pilot dan awak darat T-33 di Lanud Iswahyudi. Khusus pesawat untuk latihan, T-33 tetap menggunakan warna putih.
Khusus untuk T-33 yang telah dipersenjatai di cat warna hijau dengan logo ikan hiu di nose-nya.
Sejumlah T-33 yang dioperasikan dalam misi tempur sedang dipersiapkan di Lanud, Baucau , Timor Leste.
T 33 A T-Bird
T-33A (Awalnya Bukan Pesawat Tempur)
Introduction
Kedatangan pesawat T-33A ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan pesawat F-86 Avon Sabre dari Australia di tahun 1973. Dengan demikian fasilitas yang dibangun di Madiun berupa renovasi sarana bantuan penerbangan juga dipakai buat pesawat T-33A yaitu overlay landasan, pembangunan pergudangan dan pembangunan fasilitas pengisian bahan bakar. Konsep awalnya pesawat T-33A direncanakan untuk mengganti pesawat L-29 Dolphin, sehingga waktu datang pesawat ini berwarna abu-abu dengan cincin kuning sertafinflash yang juga kuning layaknya pesawat yang dioperasikan oleh Kodikau.
Awalnya masuk Skadik 017 (Advance Training) dengan home base di Lanuma Iswahyudi, Madiun dengan registrasi A-3301. Satu tahun berikut tepatnya tanggal 3 Mei 1974 pesawat diserahkan ke Kohanudnas dengan demikian registrasi menjadi J-3301 lalu menjadi TS-3301 setelah semua registrasi pesawat militer di Indonesia. Pesawat yang datang dalam kegiatan bersandi Peace Modern Project ini adalah program dari Amerika guna membantu mempertahankan kualitas pilot tempur Indonesia yang menurun kemampuannya setelah dikandangkannya pesawat Blok Timur pada tahun 1966. Untuk itu terpilih enam pilot dan dua perwira teknik yang belajar ke Amerika (Lachland AFB dan Cloves AFB) guna menangani pesawat T-33A T-Birds. Sedang teknisi dipercayakan kepada Kapten TPT Utih dan Lettu TPT Subagyo Sutomo.
Mereka para teknisi mendapat pelatihan yang cukup lengkap, setelah sekolah bahasa di Lackland AFB bersama para pilot langsung dikirim ke Chanute AFB, Ilinois untuk belajar Aircraft Maintenance Officer Course (AMOC) selama enam bulan. Program selanjutnya dua perwira TNI AU tersebut melanjutkan sekolah di Shepard AFB, Kansas, dalam program yang disebut Technician Instructional Course dan berakhir di Cannon MB, New Mexico, selama dua bulan lalu On the Job Training (OJT) di pesawat T-33A yang berada di pangkalan Cannon AFB juga. Sedangkan ke 12 teknisi Bintara dan Tamtama setelah belajar bahasa Inggris teknik di Lack-land langsung bergabung dengan dua perwira di Cannon AFB untuk melaksanakan OJT. Sedangkan pesawatnya sendiri diambilkan dari military-stock Amerika di Subic, Filipina. Kemampuan lebih inilah yang nanti dimanfaatkan oleh TNI AU guna melaksanakan program yang disebut Modification A/C Structure Program Reinforcement tahun 1975 yaitu penggantian wing rod spar dilaksanakan di Depolog-30, Malang.
Terbang dari Filipina
Secara bergelombang pesawat diterbangkan dari Subic langsung ke Madiun oleh para pilot AU AS dalam empat gelombang pengiriman. Gelombang pertama tiba di Madiun pada tanggal 17 Apri1 (lima pesawat), gelombang kedua tiba tanggal 1 Juni (lima pesawat), gelombang ketiga tanggal 15 Juni (lima pesawat) dan gelombang terakhir pada tanggal 22 Juni (empat pesawat) semua terjadi pada tahun 1973. Setelah lengkap 19 unit pesawat T-33 tiba di Madiun, pada tanggal 23 Agustus 1973 diadakan penyerahan dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Jenderal TNI Pangabean yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan merangkap sebagai Panglima ABRI.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam Skadik 017 dan menempati hanggar eks Skadron-42 (hangar F-16 saat ini) dengan komandan Mayor Pnb Isbandi Gondosuwignjo sehingga berhak memakai call sign Thunder-01 meskipun beliau aslinya adalah Thunder-08. Sehari setelah dilantik sebagai Komandan Skadik 017 hari berikutnya tanggal 4 Mei 1974 pesawat T-33A masuk alam jajaran Kohanudnas dan dinamakan Satuan Buru Sergap T-33A berdampingan dengan Satuan Buru Sergap F-86 di bawah satuan organik Kohanudnas yaitu Komando Satuan Buru Sergap disingkat Kosatsergap. Mayor Pnb Isbandi tetap menjadi komandan Satsergap T-33.
Modifikasi Swadaya
Meskipun bernama Peace Modern Project, ternyata pesawat T-33A adalah pesawat yang betul-betul payah kondisinya. Selain tidak bersenjata, pesawat ini masih menggunakan radio UHF (model militer Amerika) serta adanya batasan manuver yang hanya plus 3G, betul-betul pesawat latih jet yang tidak bisa dibuat manuver sama sekali. Berkat kajian dari Kolog (Komando Logistik, kini Koharmatau) maka oleh Depolog-30, Malang, diadakan penguatan pada wing rod spar sehingga pesawat dapat melakukan full maneuver hingga plus 7g serta radio yang diubah menjadi VHF, standar komunikasi pesawat di Indonesia. Kegiatan peningkatan kemampuan ini dilakukan para teknisi yang sekolah di Amerika, dibantu tujuh personel AU AS yang bertindak sebagai Technician Representative atau lebih dikenal dengan sebutan Techrep.
Dengan kemampuan ini maka para pilot T-33 mulai melakukan latihan air-to-air maneuver sebagai dasar manuver pesawat Kohanudnas dan mengantar pesawat ini dilibatkan pada Latma (Latihan Bersama) bersandi Elang Malindo 1 yang diadakan di Butterworth, Malaysia. Meskipun pesawat F-86 dari satuan Satsergap F-86 juga ikut Latma Elang Malindo 1 namun pesawat ini hanya sampai Medan. Dengan demikian pesawat T-33 adalah pesawat ternpur pertama milik TNI AU yang terbang dan berlatih hingga ke luar negeri. Beberapa tahun yang lalu juga ada saat pesawat latih jet L-29 terbang navigasi hingga Butterworth, mengingat ada siswa Malaysia ikut menjadi siswa sekolah terbang di Indonesia.
Selepas Elang Malindo 1, T-Birds juga dilibatkan dalam latihan bersandi Tutukal pada akhir 1975 disusul operasi bersandi Cakar Garuda medio 1976. Untuk mendukung operasi ini beberapa pesawat T-33A dimodifikasi oleh tim Dislitbangau dan dilengkapi dengan gun-sight tipe KB-13 (eks Ilyusin-28) serta dua laras senjata kaliber 12,7 mm dan dua buah bomb rack eks B-25. Dengan demikian pesawat T-33A menjadi pesawat tempur bersenjata tipe TA-33A. Untuk membedakan antara pesawat yang bersenjata (TA-33A) dengan pesawat tanpa senjata (T-33A) maka diadakan perubahan warna pesawat. Untuk TA-33A diberi warna hijau abu-abu dengan gigi hiu di bagian depan sedangkan T-33A tetap berwarna abu-abu. Kegiatan mempersenjatai diri ini dilakukan tanpa bantuan pihak asing dan eloknya peralatan bidik (gun-sight) mempergunakan produk Timur yaitu gun sight bekas pesawat Ilyusin-28.
Setelah diadakan modifikasi persenjataan pesawat TA-33A mampu membawa amunisi sebanyak 250 x 2 butir peluru 12,7 mm dan dua tabung rocket launcher jenis LAU (Launcher Airborne Rocket) – 68 yang dapat diisi tujuh rocket jenis FFAR 2,75 inci (Folding Fin Airborne Rocket) atau bom hingga berat 50 kg setiap sayapnya. Selanjutnya pesawat T-Birds dilibatkan lagi pada Latma Elang Malindo 2 dengan Malaysia yang diadakan di Madiun pada tahun 1977.
Dalam latihan bersama ini T-Birds adu kekuatan dengan pesawat latih Malaysia jenis CL-41G Tebuan dan diadakan exchange crew antara dua negara. Bermakna selama latihan antara pilot TNI AU dengan pilot TUDM berada dalam satu kokpit. Bulan Oktober 1979 Satsergap T-33 dilebur menjadi Skadron T-33, sedangkan Satsergap F-86 menjadi Skuadron F-86. Keduanya berada di bawah Wing Tempur 300 Kohanudnas. Setahun berikutnya nama itu diubah lagi menjadi Skadron Operasional T-33. Pesawat T-Birds dinyatakan non operasional pasca jatuhnya pesawat registrasi TS-33xx di kota Blitar pada 20 Juni 1980 bertepatan dengan diadakannya latma Elang Indopura 1 di Madiun. Selama dioperasikan TNI AU selama tujuh tahun (1973 – 1980) telah gugur enam pilot dalam tiga kecelakaan yang terpisah.
Salah satu kecelakaan yang menyebabkan dua penerbang T-33 gugur adalah kecelakaan yang terjadi pada tanggal 18 Februari 1976. Saat itu pesawat T-33 dengan nomor regristasi J-3327 jatuh di kaki Gunung Lawu yang mengakibatkan gugurnya dua penerbang Mayor PNB Sukirwan dan Lettu PNB Sutadi. Sedangkan pilot T-33 yang meninggal karena sakit adalah Letty PNB Kukky.
Introduction
Kedatangan pesawat T-33A ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan pesawat F-86 Avon Sabre dari Australia di tahun 1973. Dengan demikian fasilitas yang dibangun di Madiun berupa renovasi sarana bantuan penerbangan juga dipakai buat pesawat T-33A yaitu overlay landasan, pembangunan pergudangan dan pembangunan fasilitas pengisian bahan bakar. Konsep awalnya pesawat T-33A direncanakan untuk mengganti pesawat L-29 Dolphin, sehingga waktu datang pesawat ini berwarna abu-abu dengan cincin kuning sertafinflash yang juga kuning layaknya pesawat yang dioperasikan oleh Kodikau.
Awalnya masuk Skadik 017 (Advance Training) dengan home base di Lanuma Iswahyudi, Madiun dengan registrasi A-3301. Satu tahun berikut tepatnya tanggal 3 Mei 1974 pesawat diserahkan ke Kohanudnas dengan demikian registrasi menjadi J-3301 lalu menjadi TS-3301 setelah semua registrasi pesawat militer di Indonesia. Pesawat yang datang dalam kegiatan bersandi Peace Modern Project ini adalah program dari Amerika guna membantu mempertahankan kualitas pilot tempur Indonesia yang menurun kemampuannya setelah dikandangkannya pesawat Blok Timur pada tahun 1966. Untuk itu terpilih enam pilot dan dua perwira teknik yang belajar ke Amerika (Lachland AFB dan Cloves AFB) guna menangani pesawat T-33A T-Birds. Sedang teknisi dipercayakan kepada Kapten TPT Utih dan Lettu TPT Subagyo Sutomo.
Mereka para teknisi mendapat pelatihan yang cukup lengkap, setelah sekolah bahasa di Lackland AFB bersama para pilot langsung dikirim ke Chanute AFB, Ilinois untuk belajar Aircraft Maintenance Officer Course (AMOC) selama enam bulan. Program selanjutnya dua perwira TNI AU tersebut melanjutkan sekolah di Shepard AFB, Kansas, dalam program yang disebut Technician Instructional Course dan berakhir di Cannon MB, New Mexico, selama dua bulan lalu On the Job Training (OJT) di pesawat T-33A yang berada di pangkalan Cannon AFB juga. Sedangkan ke 12 teknisi Bintara dan Tamtama setelah belajar bahasa Inggris teknik di Lack-land langsung bergabung dengan dua perwira di Cannon AFB untuk melaksanakan OJT. Sedangkan pesawatnya sendiri diambilkan dari military-stock Amerika di Subic, Filipina. Kemampuan lebih inilah yang nanti dimanfaatkan oleh TNI AU guna melaksanakan program yang disebut Modification A/C Structure Program Reinforcement tahun 1975 yaitu penggantian wing rod spar dilaksanakan di Depolog-30, Malang.
Terbang dari Filipina
Secara bergelombang pesawat diterbangkan dari Subic langsung ke Madiun oleh para pilot AU AS dalam empat gelombang pengiriman. Gelombang pertama tiba di Madiun pada tanggal 17 Apri1 (lima pesawat), gelombang kedua tiba tanggal 1 Juni (lima pesawat), gelombang ketiga tanggal 15 Juni (lima pesawat) dan gelombang terakhir pada tanggal 22 Juni (empat pesawat) semua terjadi pada tahun 1973. Setelah lengkap 19 unit pesawat T-33 tiba di Madiun, pada tanggal 23 Agustus 1973 diadakan penyerahan dari pemerintah Amerika kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Jenderal TNI Pangabean yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan merangkap sebagai Panglima ABRI.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam Skadik 017 dan menempati hanggar eks Skadron-42 (hangar F-16 saat ini) dengan komandan Mayor Pnb Isbandi Gondosuwignjo sehingga berhak memakai call sign Thunder-01 meskipun beliau aslinya adalah Thunder-08. Sehari setelah dilantik sebagai Komandan Skadik 017 hari berikutnya tanggal 4 Mei 1974 pesawat T-33A masuk alam jajaran Kohanudnas dan dinamakan Satuan Buru Sergap T-33A berdampingan dengan Satuan Buru Sergap F-86 di bawah satuan organik Kohanudnas yaitu Komando Satuan Buru Sergap disingkat Kosatsergap. Mayor Pnb Isbandi tetap menjadi komandan Satsergap T-33.
Modifikasi Swadaya
Meskipun bernama Peace Modern Project, ternyata pesawat T-33A adalah pesawat yang betul-betul payah kondisinya. Selain tidak bersenjata, pesawat ini masih menggunakan radio UHF (model militer Amerika) serta adanya batasan manuver yang hanya plus 3G, betul-betul pesawat latih jet yang tidak bisa dibuat manuver sama sekali. Berkat kajian dari Kolog (Komando Logistik, kini Koharmatau) maka oleh Depolog-30, Malang, diadakan penguatan pada wing rod spar sehingga pesawat dapat melakukan full maneuver hingga plus 7g serta radio yang diubah menjadi VHF, standar komunikasi pesawat di Indonesia. Kegiatan peningkatan kemampuan ini dilakukan para teknisi yang sekolah di Amerika, dibantu tujuh personel AU AS yang bertindak sebagai Technician Representative atau lebih dikenal dengan sebutan Techrep.
Dengan kemampuan ini maka para pilot T-33 mulai melakukan latihan air-to-air maneuver sebagai dasar manuver pesawat Kohanudnas dan mengantar pesawat ini dilibatkan pada Latma (Latihan Bersama) bersandi Elang Malindo 1 yang diadakan di Butterworth, Malaysia. Meskipun pesawat F-86 dari satuan Satsergap F-86 juga ikut Latma Elang Malindo 1 namun pesawat ini hanya sampai Medan. Dengan demikian pesawat T-33 adalah pesawat ternpur pertama milik TNI AU yang terbang dan berlatih hingga ke luar negeri. Beberapa tahun yang lalu juga ada saat pesawat latih jet L-29 terbang navigasi hingga Butterworth, mengingat ada siswa Malaysia ikut menjadi siswa sekolah terbang di Indonesia.
Selepas Elang Malindo 1, T-Birds juga dilibatkan dalam latihan bersandi Tutukal pada akhir 1975 disusul operasi bersandi Cakar Garuda medio 1976. Untuk mendukung operasi ini beberapa pesawat T-33A dimodifikasi oleh tim Dislitbangau dan dilengkapi dengan gun-sight tipe KB-13 (eks Ilyusin-28) serta dua laras senjata kaliber 12,7 mm dan dua buah bomb rack eks B-25. Dengan demikian pesawat T-33A menjadi pesawat tempur bersenjata tipe TA-33A. Untuk membedakan antara pesawat yang bersenjata (TA-33A) dengan pesawat tanpa senjata (T-33A) maka diadakan perubahan warna pesawat. Untuk TA-33A diberi warna hijau abu-abu dengan gigi hiu di bagian depan sedangkan T-33A tetap berwarna abu-abu. Kegiatan mempersenjatai diri ini dilakukan tanpa bantuan pihak asing dan eloknya peralatan bidik (gun-sight) mempergunakan produk Timur yaitu gun sight bekas pesawat Ilyusin-28.
Setelah diadakan modifikasi persenjataan pesawat TA-33A mampu membawa amunisi sebanyak 250 x 2 butir peluru 12,7 mm dan dua tabung rocket launcher jenis LAU (Launcher Airborne Rocket) – 68 yang dapat diisi tujuh rocket jenis FFAR 2,75 inci (Folding Fin Airborne Rocket) atau bom hingga berat 50 kg setiap sayapnya. Selanjutnya pesawat T-Birds dilibatkan lagi pada Latma Elang Malindo 2 dengan Malaysia yang diadakan di Madiun pada tahun 1977.
Dalam latihan bersama ini T-Birds adu kekuatan dengan pesawat latih Malaysia jenis CL-41G Tebuan dan diadakan exchange crew antara dua negara. Bermakna selama latihan antara pilot TNI AU dengan pilot TUDM berada dalam satu kokpit. Bulan Oktober 1979 Satsergap T-33 dilebur menjadi Skadron T-33, sedangkan Satsergap F-86 menjadi Skuadron F-86. Keduanya berada di bawah Wing Tempur 300 Kohanudnas. Setahun berikutnya nama itu diubah lagi menjadi Skadron Operasional T-33. Pesawat T-Birds dinyatakan non operasional pasca jatuhnya pesawat registrasi TS-33xx di kota Blitar pada 20 Juni 1980 bertepatan dengan diadakannya latma Elang Indopura 1 di Madiun. Selama dioperasikan TNI AU selama tujuh tahun (1973 – 1980) telah gugur enam pilot dalam tiga kecelakaan yang terpisah.
Salah satu kecelakaan yang menyebabkan dua penerbang T-33 gugur adalah kecelakaan yang terjadi pada tanggal 18 Februari 1976. Saat itu pesawat T-33 dengan nomor regristasi J-3327 jatuh di kaki Gunung Lawu yang mengakibatkan gugurnya dua penerbang Mayor PNB Sukirwan dan Lettu PNB Sutadi. Sedangkan pilot T-33 yang meninggal karena sakit adalah Letty PNB Kukky.
Foto F-86 Sabre bawah adalah profil F-86 yang akan diterbangkan menuju Lanud lswahyudi. Bendera Merah Putih dan logo TNI AU sudah terpasang dan pesawat pun dalam kondisi slap tinggal landas.
Pada
9 April 1973, Indonesia mendapat hibah pesawat tempur F-86 Sabre dari
Australia. Pesawat-pesawat ini kemudian melahirkan penerbang-penerbang
tangguh TNI AU. Dalam Coto di bawah ini, berdiri dari kiri ke kanan:
Suyamto, Anggoro, Iowan Saleh, Tri Soeharto, FX Suyitno, Boediardjo.
Sementara berjongkok, dari kiri ke kanan: Sulaiman Supriyatna, Sutejo,
Holky Bk, Donan Sunanto dan Sudahlan.
Foto ketika
Panglima ABRI M Panggabean bersama pejabat Australia melaksanakan
inspeksi terhadap F-86 yang sudah terkirim ke Indonesia.
Empat pilot F-86 Sabre sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan latihan terbang di Lanud Iswahyudi.
Sejumlah F-86 saat sedang latihan terbang.
Formasi
lima F-86 yang sedang terbang di alas Bandara Polonia Medan dan
melintas di atas Boeing 707 Garuda. Sejumlah F-86 sedang melaksanakan
terbang cross countrydan salah satu yang disinggahi adalah Bandara
Polonia Medan.
Setelah
memperkuat jajaran TNI AU, F-86 mulai diperkenalkan kepada
perwira-perwira muda yang saat itu masih menjalami pendidikan di Akademi
Militer, Magelang. Dua penerbang yang berada disamping F-86 adalah Ida
Bagus Sanubari (merapat di pesawat) dan F Djoko Poerwoko.
CAC F 86 Avon Sabre
F-86 Sabre (Salah Satu Pioner Pesawat Modern)
Introduction
Di dunia ini hanya ada 112 unit pesawat F-86 Avon Sabre, 23 di antaranya berada di Indonesia pasca dihibahkannya jenis pesawat ini kepada TNI AU pada awal tahun 1973. Ke-23 pesawat datang dalam program yang disebut Garuda Bangkit yaitu mendatangkan 18 unit pesawat F-86 Avon Sabre yang datang pada tahun 1973 dalam dua gelombang pengiriman dan lima unit F-86 datang pada tahun 1976 dari TUDM (Tentara Udara Diraja Malaysia) yang tadinya dioperasikan oleh Skuadron Udara-11 bermarkas di Butterworth.
MIG Killer
F-86 Sabre adalah pesawat legendaris, terkenal sejak Perang Korea dan mendapat sebutan MiG-Killer karena berhasil merontokkan 792 pesawat MiG-15 dalam 900 kali pertempuran udara dan “hanya” kehilangan 78 unit. Bila ini benar maka kill ratio pesawat F-86 terhadap MiG-15 adalah 10 : 1, angka yang fantastic. Meskipun dokumen Rusia menyebut bahwa mereka berhasil merontokkan 650 Sabre di udara dan diakui Amerika “hanya” 224 pesawat, terpenting bahwa pesawat F-86 Sabre memang dirancang sebagai pesawat tempur untuk keunggulan di udara.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II hampir tidak ada perlombaan senjata, semua pihak masih menyesal dengan perbuatan masing-masing selama perang. Sementara itu dunia penerbangan makin maju sebagai dampak pengalaman selama perang, sehingga nantinya tercipta sebuah pesawat tempur yang kecil, lincah, tidak boros bahan bakar, dioperasikan seorang pilot dan mampu menyergap musuh dengan kecepatan tinggi. Pihak Barat dalam hal ini Amerika menelurkan pesawat yang disebut F-86 Sabre dan pihak Timur dalam hal ini Rusia menghasilkan pesawat yang disebut MiG-15. Sepasang `anak kembar” inilah yang nanti akan bertemu dalam duel udara di atas Korea.
Edgar Schmued berhasil merancang pesawat yang dipersyaratkan oleh AU AS, maka lahirlah pesawat F-86 Sabre yang terbang perdana pada tanggal 1 Oktober 1947. Pesawat lincah yang ditenagai dengan mesin jet trial dan hanya diawaki seorang Pilot ini mampu melesat terbang mendekati kecepatan suara dengan struktur yang telah dirancang untuk penerbangan supersonik Untuk itulah ekor pesawat telah mengadopsi rancang bangun mutakhir serta adanya horizontal stabilizer yang mempunyai satu kesatuan – bertolak belakang dengan stabilizer pesawat terdahulu. Dengan penemuan baru ini masalah kontrol dapat teratasi dan pesawat dapat terbang melebihi kecepatan suara, karena pilot saat menggerakkan stick control semua bagian stabilizer akan bergerak. Namun teknologi permesinan belum mampu mengatasi, sehingga pesawat F-86 hanya dapat terbang supersonik dengan cara terbang dive pada sudut antara 70 hingga 90 derajat mengarah ke bawah.
Tiga prototipe telah dibuat untuk uji terbang statis dan dinamis, sayang pesawat pertama jatuh terbakar setelah terbang 241 kali. Sedang prototipe kedua dan ketiga terus diuji coba hingga tahun 1953 agar mendapat pesawat yang diinginkan para pilot yaitu sebuah pesawat tempur kecil, lincah dan bertenaga. Setelah dilaksanakan serangkaian uji terbang akhirnya tercipta pesawat yang diberi registrasi F-86 dengan enam senjata kaliber 12,7 mm (Browning M3 .50 inci) masing-masing dengan 300 butir peluru. Meskipun masih dilengkapi dengan alat bidik manual (manual ranging computing gun sight) jenis Mark-18, pesawat yang mmpu terbang pada ketinggian 35.000 kaki ini merupakan pesawat terhebat di zamannya. Tidak heran banyak angkatan udara ingin memiliki pesawat ini. Bahkan beberapa negara ingin memproduksinya. Antara lain adalah pabrikan Commonwealth Aircraft Corporations di Fisherman’s Bend, Melbourne, Australia, mendapat lisensi yang nanti hasil produksinya diberi label F-86 Avon Sabre (diproduksi 112 unit). Sedang Kanada dengan label CL‑13 Sabre (diproduksi 1.813 unit) dan Amerika tetap memakai label North American F-86 Sabre.
Efek Perang Korea
Dampak Perang Korea, permintaan pesawat F-86 dari luar negeri melesat tajam. Negara pertama yang berhasil mendapatkannya adalah Taiwan. Sebanyak 160 unit F-86F-1-NA dikirim ke Taiwan periode 1954 hingga 1956. Belakangan pada tahun 1958 dikirim lagi 320 unit F-86 dan tujuh unit tipe RF-86F dari surplus AU AS dan 135 unit lagi yang kesemuanya di upgrade menjadi F-86F-40. Tahun 1954 Kongres Amerika menyetujui pengiriman pesawat jenis ini ke Jepang guna membangun pasukan bela diri Jepang yang kemampuannya dikebiri akibat kalah perang. Awalnya terkirim68 unit T-33 dan 54 unit F-86 Sabre, belakangan dikirim lagi 135 unit dimana sebagian dirakit oleh Mitsubishi. Kemampuan merakit inilah nantinya menjadikan Mitsubishi mampu membuat sendiri 300 unit F-86F di bawah pengawasan Amerika. Hingga tahun 1957 tulang punggung kekuatan udara Nihun Koku Jeitei ditopang oleh F-86F Sabre.
Saking lakunya pesawat ini, beberapa negara termasuk Indonesia hanya mendapat pesawat bekas pakai. Indonesia mendapat dari Australia dan Malaysia padahal Malaysia sendiri mendapat pesawat bekas dari Australia. Negara penerima pesawat F-86 bekas pakai lainnya adalah Venezuela yang mendapat bekas dari Argentina dan juga Jerman; Saudi Arabia dan Portugal dari Norwegia; Bangladesh dari Pakistan; dan Tunisia dari Amerika. Selain tampil sebagai pesawat andal dalam medan perang, pesawat yang lincah ini juga dipakai sebagai pesawat andalan tim aerobatik angkatan udara di antaranya Thunderbirds (USAF), Golden Eagle (Canada), Black Panther, Red Diamonds, Black Diamonds, 78 Wing Sabre Team, 3 Squadron Team dan Markerman (Australia), Blue Impuls (Jepang) dan tentunya TNI AU dengan tim aerobatik yang dinamakan Spirit-78. Kesemua tim aerobatik memanfaatkan kelincahan F-86 dan kemampuan manuver pada ketinggian rendah yang dapat disajikan secara spektakuler. Kemampuan untuk terbang invertel selama 12 detik juga merupakan salah satu sajian semua tim aerobatik yang mengunakan pesawat ini.
Kekuatan udara Indonesia
Pesawat F-86 Avon Sabre yang dioperasikan TNI AU sejak tahun 1973 akhirnya dikandangkan pasca tragedi jatuhnya pesawat TS-8620 dengan menewaskan pilotnya yaitu Mayor Pnb Budiardjo Soerono. Peristiwa tanggal 30 Oktober 1980 ini menutup lembar sejarah keperkasaan sang Sabre yang sempat menjadi perangkat tim aerobatik Spirit-78 di masa jayanya. Kemampuan sang Sabre masih dapat ditampilkan para pilot muda pimpinan Mayor Budiardjo saat mengikuti hari ABRI tanggal 5 Oktober 1980 di Jagorawi dengan menampilkan manuver yang spektakuler, lebih spektakuler lagi karena semua anggota tim adalah para pilot siswa konversi yang belum menyelesaikan pendidikan. Berkat leader yang baik para siswa mampu mengikuti manuver yang sulit sambil fly pass, antara lain dengan melakukan trill in roll, wing over dan clover leaf in box. Meskipun hanya dengan empat pesawat, “penampilan terakhir” F-86 di hadapan publik ini memancing decak kagum.
Kini kita masih dapat melihat sisa-sisa pesawat F-86 Avon Sabre yang dulunya dioperasikan di Skadron Udara 14 menggantikan keberadaan pesawat MiG-21 yang dikandangkan tahun 1966. Sejumlah pesawat F-86 registrasi TNI AU kini masih dapat dilihat di museum di Indonesia dan juga yang dijadikan monumen. Sedang sisanya semua diborong ke Amerika oleh perusahaan Aero Trader yang memenangkan tender pembelian pesawat F-86 (bekas) pada tahun 1989. Pesawat-pesawat tersebut saat ini tersimpan di Ocotillo, Wells. Meskipun cuma dioperasikan selama tujuh tahun (1973 -1980) pesawat ini telah mengubah cara pandang pilot tempur Indonesia dalam mengelola serta merawat sebuah skadron udara.
Diawali dengan pengiriman sejumlah teknisi ke Australia pada tanggal 30 Mei 1972 maka operasi bersandi Garuda Bangkit secara resmi diberlakukan. Operasi ini dipimpin oleh Pangkohanudnas (Marsekal Muda TNI Iskandar) guna menerima satu skadron plus pesawat bekas pakai yaitu F-86 Avon Sabre. Selanjutnya gelombang kedua diberangkatkan dan terakhir 12 pilot menutup pengiriman personel TNI AU ke Australia. Mereka belajar di Williamstown RAAF Base, Sydney, tempat dimana skadron Sabre berada.
Sayang dua pilot dikembalikan dan tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Hal ini disebabkan karena pilot yang dikirim adalah mantan pilot MiG yang telah tujuh tahun tidak terbang di pesawat tempur, meskipun sebelumnya telah diterbangkan lagi dengan pesawat L-29 di Indonesia untuk mengembalikan feeling sebagai pilot tempur. Lagi pula pesawat F-86 memang tidak ada yang bertempat duduk ganda sehingga harus langsung terbang solo. Namun begitu sesuai dengan silabus pendidikan RAAF para pilot harus terbang dulu di pesawat jet dual control type Aermachi milik RAAF yang dipakai sebagai pesawat OCU. Pola yang sama nantinya diterapkan buat pendidikan pilot Sabre di Indonesia, mereka harus terbang dan selesai mengikuti pelatihan dengan pesawat T-33 yang dipakai sebagai pesawat pre-Sabre transition.
Para teknisi TNI AU kembali ke Indonesia dalam dua gelombang. Gelombang pertama terdiri dari 64 teknisi dan gelombang kedua terdiri dari 49 teknisi diangkut dengan pesawat C-130 milik RAAF. Pendaratan para teknisi di Lanuma Iswahyudi akhir Desember 1972 sebagai persiapan kedatangan pesawat dan persiapan gelar skadron tempur. Untuk itu Lanuma Iswahyudi dipersiapkan dan dilengkapi dengan peralatan layaknya pangkalan operasional dengan dibangunnya fasilitas pengisian bahan bakar, renovasi tower beserta alat komunikasi, overlay landasan, dipasangnya barrier barricade, dibangun laboratorium minyak dan dibangun fasilitas perumahan bagi para teknisi Australia termasuk pembangunan mess yang kini dikenal dengan sebutan Wisma Cumulus di Sarangan.
Dalam keterbatasan prasarana ke-10 pilot Indonesia dapat terbang dengan pesawat F-86 Sabre dan menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Akhirnya pada awal tahun 1973 dibagi dalam dua gelombang diadakan feri pesawat dengan rute Williamstown – Darwin – Denpasar – Iswahyudi. Untuk rute Denpasar ke Iswahyudi, beberapa pilot TNI AU menerbangkan pesawatnya sendiri. Terjadi kecelakaan ketika pesawat yang diterbangkan Lettu Pnb Budiardjo keluar landasan saat proses lepas landas. Pesawat registrasi F-8606 ini rusak cukup parah dan dikirim kembali ke Australia. Belakangan pesawat yang aslinya berregistrasi A94-952 (serial number CAC-199) dikirim ke Warbird Aviation Museum sebagai alat peraga pelatihan teknisi avionik. Nantinya pihak RAAF mengganti pesawat yang kecelakaan ini dengan pesawat registrasi A94-370 yang oleh TNI AU diberi registrasi F-8617 dan datang pada bulan November 1973.
Titik Balik
Kedatangan pesawat F-86 di Indonesia seolah merupakan titik awal kebangkitan skadron tempur, selain kemampuan kombatan sebagai pilot tempur diperkenalkan pula cara mengoperasikan, mendidik pilot dan teknisi serta penyusunan silabus dan persiapan briefing bagi siapapun yang akan memulai tugas di skadron udara. Saat itu para instruktur dari RAAF mengajarkan pengelolaan skadron mulai dari pelaksanaan morning briefing yang diikuti semua personel yang terlibat kegiatan, adanya weekly forum dan bold face check bagi pilot dan teknisi yang secara rutin dilakukan. Metode ini hingga kini tetap diberlakukan dan diadopsi oleh semua skadron di TNI AU.
Pembuatan Standard Operating Procedure, pembagian Training Area, kesiapan SAR termasuk ketersediaan pesawat heli saat training dan pembuatan Air Weapon Range juga limbah dari sentuhan personel RAAF yang bertugas mendampingi para perwira TNI AU selama satu tahun dalam mempersiapkan sebuah skadron udara. Dengan kelengkapan fasilitas latihan untuk skadron udara maka Lanuma Iswahyudi ditetapkan sebagai pangkalan model – atau model pangkalan buat TNI AU yang akan membangun dan mengembangkan sebuah pangkalan udara. Nantinya semua pangkalan yang ada akan meniru Lanuma Iswahyudi. Termasuk pangkalan yang dikembangkan kemudian yaitu Medan, Pekanbaru, Makassar dan Kupang.
Sayang kemampuan pemukul F-86 yang dioperasikan di Skadron Udara-14 tidak dapat dipergunakan dalam operasi Seroja yang digelar di Timor Timur pada Desember 1975. Berapa jam sebelum F-86 berangkat ke Bacau keluar perintah untuk membatalkan operasi udara yang telah dipersiapkan lama, dan akhirnya Operasi Cakar Garuda dibebankan pada Skuadron Udara dengan pesawat T-33. Meskipun operasi Cakar Garuda terlambat beberapa bulan menunggu proses untuk mempersenjatai pesawat T-33, namun operasi udara dapat berjalan dengan baik sambil menunggu kedatangan peawat OV-10F yang baru datang pada akhir tahun 1976.
Memang pesawat F-86 tidak terlibat operasi bersenjata yang digelar TNI, namun kehadiran pesawat Sabre telah mengangkat nama TNI AU saat tampil dalam demo udara di Senayan tanggal 5 Oktober 1978. Dengan hanya persiapan selama dua bulan Skadron Udara -14 berhasil menampilkan sebuah tim aerobatik dengan 12 manuver yang spektakuler. Penampilan yang dilengkapi dengan smoke trail apa adanya dengan mengisi salah satu tangki pesawat dengan oh jenis 0M-11 sehingga asap berwarna putih dapat tersajikan. Padahal untuk mengoperasikan asap ini salah satu switch di pesawat yaitu landing gears light switch telah diubah fungsinya untuk menyalakan lampu landing gears dan mematikan asap putih. Apresiasi buat tim Dislitbangau yang telah menciptakan alat ini meskipun satu pesawat yaitu F-8606 menjadi rusak flaps akibat korosi saat dicobakan asap berwarna dengan menambahkan konsentrat pada bahan bakar pesawat.
Masuk museum
Selama tujuh tahun dioperasikan, 38 pilot tempur TNI AU telah menerbangkan pesawat ini dan menyandang predikat pilot kombatan. Pilot kombatan yang hebat karena untuk terbang dengan pesawat ini sang siswa harus terbang solo sejak awal – karena memang pesawat ini tidak ada jenis dual control. Dari 38 pilot tempur hanya satu yang meninggal di pesawat (Mayor Pnb Budiardjo Soerono) sementara tiga pilot telah menggunakan kursi lontar dan selamat. Keempat pesawat yang mengalami kecelakaan dalam waktu terpisah tersebut semua hancur. Sisa pesawat Sabre kini masih dapat dilihat satu di Museum Dirgantara Mandala, satu di Wingdiktekal Lanud Husein Sastranegara sebagai alat peraga dan delapan menjadi monumen di berbagai kota. Dua dikembalikan ke Australia dan sisanya sebanyak tujuh unit dibeli oleh sebuah perusahaan Amerika bernama Aero Trader pada tahun 1989 dan dionggokkan di Actolio Wells sebagai besi tua.
Seusai Masa Bakti
Selama menjadi alutsista di jajaran TNI AU, F-86 Sabre selain menjadi pesawat yang menghantar para pilot untuk menjadi penerbang pesawat tempur moderen juga berhasil menciptakan sejarah penerbangan tersendiri. Tapi setelah puma tugas, sejumlah F-86 TNT AU itu pun di grounded. Sebagian dipajang di sejurnlah tempat sebagai museum dan sebagian lagi dibeli oleh perusahaan Aero Trader dari AS. Tak semua F-86 yang dipajang sebagai museum terawat baik demikian juga yang dibawa ke AS. Sebagai saksi sejarah penerbangan TNI AU, F-86 yang difungsikan sebagai museum seharusnya dirawat dengan sebaik-baiknya.
Douglas A-4E Skyhawk (A4D-5)Introduction
Di dunia ini hanya ada 112 unit pesawat F-86 Avon Sabre, 23 di antaranya berada di Indonesia pasca dihibahkannya jenis pesawat ini kepada TNI AU pada awal tahun 1973. Ke-23 pesawat datang dalam program yang disebut Garuda Bangkit yaitu mendatangkan 18 unit pesawat F-86 Avon Sabre yang datang pada tahun 1973 dalam dua gelombang pengiriman dan lima unit F-86 datang pada tahun 1976 dari TUDM (Tentara Udara Diraja Malaysia) yang tadinya dioperasikan oleh Skuadron Udara-11 bermarkas di Butterworth.
MIG Killer
F-86 Sabre adalah pesawat legendaris, terkenal sejak Perang Korea dan mendapat sebutan MiG-Killer karena berhasil merontokkan 792 pesawat MiG-15 dalam 900 kali pertempuran udara dan “hanya” kehilangan 78 unit. Bila ini benar maka kill ratio pesawat F-86 terhadap MiG-15 adalah 10 : 1, angka yang fantastic. Meskipun dokumen Rusia menyebut bahwa mereka berhasil merontokkan 650 Sabre di udara dan diakui Amerika “hanya” 224 pesawat, terpenting bahwa pesawat F-86 Sabre memang dirancang sebagai pesawat tempur untuk keunggulan di udara.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II hampir tidak ada perlombaan senjata, semua pihak masih menyesal dengan perbuatan masing-masing selama perang. Sementara itu dunia penerbangan makin maju sebagai dampak pengalaman selama perang, sehingga nantinya tercipta sebuah pesawat tempur yang kecil, lincah, tidak boros bahan bakar, dioperasikan seorang pilot dan mampu menyergap musuh dengan kecepatan tinggi. Pihak Barat dalam hal ini Amerika menelurkan pesawat yang disebut F-86 Sabre dan pihak Timur dalam hal ini Rusia menghasilkan pesawat yang disebut MiG-15. Sepasang `anak kembar” inilah yang nanti akan bertemu dalam duel udara di atas Korea.
Edgar Schmued berhasil merancang pesawat yang dipersyaratkan oleh AU AS, maka lahirlah pesawat F-86 Sabre yang terbang perdana pada tanggal 1 Oktober 1947. Pesawat lincah yang ditenagai dengan mesin jet trial dan hanya diawaki seorang Pilot ini mampu melesat terbang mendekati kecepatan suara dengan struktur yang telah dirancang untuk penerbangan supersonik Untuk itulah ekor pesawat telah mengadopsi rancang bangun mutakhir serta adanya horizontal stabilizer yang mempunyai satu kesatuan – bertolak belakang dengan stabilizer pesawat terdahulu. Dengan penemuan baru ini masalah kontrol dapat teratasi dan pesawat dapat terbang melebihi kecepatan suara, karena pilot saat menggerakkan stick control semua bagian stabilizer akan bergerak. Namun teknologi permesinan belum mampu mengatasi, sehingga pesawat F-86 hanya dapat terbang supersonik dengan cara terbang dive pada sudut antara 70 hingga 90 derajat mengarah ke bawah.
Tiga prototipe telah dibuat untuk uji terbang statis dan dinamis, sayang pesawat pertama jatuh terbakar setelah terbang 241 kali. Sedang prototipe kedua dan ketiga terus diuji coba hingga tahun 1953 agar mendapat pesawat yang diinginkan para pilot yaitu sebuah pesawat tempur kecil, lincah dan bertenaga. Setelah dilaksanakan serangkaian uji terbang akhirnya tercipta pesawat yang diberi registrasi F-86 dengan enam senjata kaliber 12,7 mm (Browning M3 .50 inci) masing-masing dengan 300 butir peluru. Meskipun masih dilengkapi dengan alat bidik manual (manual ranging computing gun sight) jenis Mark-18, pesawat yang mmpu terbang pada ketinggian 35.000 kaki ini merupakan pesawat terhebat di zamannya. Tidak heran banyak angkatan udara ingin memiliki pesawat ini. Bahkan beberapa negara ingin memproduksinya. Antara lain adalah pabrikan Commonwealth Aircraft Corporations di Fisherman’s Bend, Melbourne, Australia, mendapat lisensi yang nanti hasil produksinya diberi label F-86 Avon Sabre (diproduksi 112 unit). Sedang Kanada dengan label CL‑13 Sabre (diproduksi 1.813 unit) dan Amerika tetap memakai label North American F-86 Sabre.
Efek Perang Korea
Dampak Perang Korea, permintaan pesawat F-86 dari luar negeri melesat tajam. Negara pertama yang berhasil mendapatkannya adalah Taiwan. Sebanyak 160 unit F-86F-1-NA dikirim ke Taiwan periode 1954 hingga 1956. Belakangan pada tahun 1958 dikirim lagi 320 unit F-86 dan tujuh unit tipe RF-86F dari surplus AU AS dan 135 unit lagi yang kesemuanya di upgrade menjadi F-86F-40. Tahun 1954 Kongres Amerika menyetujui pengiriman pesawat jenis ini ke Jepang guna membangun pasukan bela diri Jepang yang kemampuannya dikebiri akibat kalah perang. Awalnya terkirim68 unit T-33 dan 54 unit F-86 Sabre, belakangan dikirim lagi 135 unit dimana sebagian dirakit oleh Mitsubishi. Kemampuan merakit inilah nantinya menjadikan Mitsubishi mampu membuat sendiri 300 unit F-86F di bawah pengawasan Amerika. Hingga tahun 1957 tulang punggung kekuatan udara Nihun Koku Jeitei ditopang oleh F-86F Sabre.
Saking lakunya pesawat ini, beberapa negara termasuk Indonesia hanya mendapat pesawat bekas pakai. Indonesia mendapat dari Australia dan Malaysia padahal Malaysia sendiri mendapat pesawat bekas dari Australia. Negara penerima pesawat F-86 bekas pakai lainnya adalah Venezuela yang mendapat bekas dari Argentina dan juga Jerman; Saudi Arabia dan Portugal dari Norwegia; Bangladesh dari Pakistan; dan Tunisia dari Amerika. Selain tampil sebagai pesawat andal dalam medan perang, pesawat yang lincah ini juga dipakai sebagai pesawat andalan tim aerobatik angkatan udara di antaranya Thunderbirds (USAF), Golden Eagle (Canada), Black Panther, Red Diamonds, Black Diamonds, 78 Wing Sabre Team, 3 Squadron Team dan Markerman (Australia), Blue Impuls (Jepang) dan tentunya TNI AU dengan tim aerobatik yang dinamakan Spirit-78. Kesemua tim aerobatik memanfaatkan kelincahan F-86 dan kemampuan manuver pada ketinggian rendah yang dapat disajikan secara spektakuler. Kemampuan untuk terbang invertel selama 12 detik juga merupakan salah satu sajian semua tim aerobatik yang mengunakan pesawat ini.
Kekuatan udara Indonesia
Pesawat F-86 Avon Sabre yang dioperasikan TNI AU sejak tahun 1973 akhirnya dikandangkan pasca tragedi jatuhnya pesawat TS-8620 dengan menewaskan pilotnya yaitu Mayor Pnb Budiardjo Soerono. Peristiwa tanggal 30 Oktober 1980 ini menutup lembar sejarah keperkasaan sang Sabre yang sempat menjadi perangkat tim aerobatik Spirit-78 di masa jayanya. Kemampuan sang Sabre masih dapat ditampilkan para pilot muda pimpinan Mayor Budiardjo saat mengikuti hari ABRI tanggal 5 Oktober 1980 di Jagorawi dengan menampilkan manuver yang spektakuler, lebih spektakuler lagi karena semua anggota tim adalah para pilot siswa konversi yang belum menyelesaikan pendidikan. Berkat leader yang baik para siswa mampu mengikuti manuver yang sulit sambil fly pass, antara lain dengan melakukan trill in roll, wing over dan clover leaf in box. Meskipun hanya dengan empat pesawat, “penampilan terakhir” F-86 di hadapan publik ini memancing decak kagum.
Kini kita masih dapat melihat sisa-sisa pesawat F-86 Avon Sabre yang dulunya dioperasikan di Skadron Udara 14 menggantikan keberadaan pesawat MiG-21 yang dikandangkan tahun 1966. Sejumlah pesawat F-86 registrasi TNI AU kini masih dapat dilihat di museum di Indonesia dan juga yang dijadikan monumen. Sedang sisanya semua diborong ke Amerika oleh perusahaan Aero Trader yang memenangkan tender pembelian pesawat F-86 (bekas) pada tahun 1989. Pesawat-pesawat tersebut saat ini tersimpan di Ocotillo, Wells. Meskipun cuma dioperasikan selama tujuh tahun (1973 -1980) pesawat ini telah mengubah cara pandang pilot tempur Indonesia dalam mengelola serta merawat sebuah skadron udara.
Diawali dengan pengiriman sejumlah teknisi ke Australia pada tanggal 30 Mei 1972 maka operasi bersandi Garuda Bangkit secara resmi diberlakukan. Operasi ini dipimpin oleh Pangkohanudnas (Marsekal Muda TNI Iskandar) guna menerima satu skadron plus pesawat bekas pakai yaitu F-86 Avon Sabre. Selanjutnya gelombang kedua diberangkatkan dan terakhir 12 pilot menutup pengiriman personel TNI AU ke Australia. Mereka belajar di Williamstown RAAF Base, Sydney, tempat dimana skadron Sabre berada.
Sayang dua pilot dikembalikan dan tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Hal ini disebabkan karena pilot yang dikirim adalah mantan pilot MiG yang telah tujuh tahun tidak terbang di pesawat tempur, meskipun sebelumnya telah diterbangkan lagi dengan pesawat L-29 di Indonesia untuk mengembalikan feeling sebagai pilot tempur. Lagi pula pesawat F-86 memang tidak ada yang bertempat duduk ganda sehingga harus langsung terbang solo. Namun begitu sesuai dengan silabus pendidikan RAAF para pilot harus terbang dulu di pesawat jet dual control type Aermachi milik RAAF yang dipakai sebagai pesawat OCU. Pola yang sama nantinya diterapkan buat pendidikan pilot Sabre di Indonesia, mereka harus terbang dan selesai mengikuti pelatihan dengan pesawat T-33 yang dipakai sebagai pesawat pre-Sabre transition.
Para teknisi TNI AU kembali ke Indonesia dalam dua gelombang. Gelombang pertama terdiri dari 64 teknisi dan gelombang kedua terdiri dari 49 teknisi diangkut dengan pesawat C-130 milik RAAF. Pendaratan para teknisi di Lanuma Iswahyudi akhir Desember 1972 sebagai persiapan kedatangan pesawat dan persiapan gelar skadron tempur. Untuk itu Lanuma Iswahyudi dipersiapkan dan dilengkapi dengan peralatan layaknya pangkalan operasional dengan dibangunnya fasilitas pengisian bahan bakar, renovasi tower beserta alat komunikasi, overlay landasan, dipasangnya barrier barricade, dibangun laboratorium minyak dan dibangun fasilitas perumahan bagi para teknisi Australia termasuk pembangunan mess yang kini dikenal dengan sebutan Wisma Cumulus di Sarangan.
Dalam keterbatasan prasarana ke-10 pilot Indonesia dapat terbang dengan pesawat F-86 Sabre dan menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Akhirnya pada awal tahun 1973 dibagi dalam dua gelombang diadakan feri pesawat dengan rute Williamstown – Darwin – Denpasar – Iswahyudi. Untuk rute Denpasar ke Iswahyudi, beberapa pilot TNI AU menerbangkan pesawatnya sendiri. Terjadi kecelakaan ketika pesawat yang diterbangkan Lettu Pnb Budiardjo keluar landasan saat proses lepas landas. Pesawat registrasi F-8606 ini rusak cukup parah dan dikirim kembali ke Australia. Belakangan pesawat yang aslinya berregistrasi A94-952 (serial number CAC-199) dikirim ke Warbird Aviation Museum sebagai alat peraga pelatihan teknisi avionik. Nantinya pihak RAAF mengganti pesawat yang kecelakaan ini dengan pesawat registrasi A94-370 yang oleh TNI AU diberi registrasi F-8617 dan datang pada bulan November 1973.
Titik Balik
Kedatangan pesawat F-86 di Indonesia seolah merupakan titik awal kebangkitan skadron tempur, selain kemampuan kombatan sebagai pilot tempur diperkenalkan pula cara mengoperasikan, mendidik pilot dan teknisi serta penyusunan silabus dan persiapan briefing bagi siapapun yang akan memulai tugas di skadron udara. Saat itu para instruktur dari RAAF mengajarkan pengelolaan skadron mulai dari pelaksanaan morning briefing yang diikuti semua personel yang terlibat kegiatan, adanya weekly forum dan bold face check bagi pilot dan teknisi yang secara rutin dilakukan. Metode ini hingga kini tetap diberlakukan dan diadopsi oleh semua skadron di TNI AU.
Pembuatan Standard Operating Procedure, pembagian Training Area, kesiapan SAR termasuk ketersediaan pesawat heli saat training dan pembuatan Air Weapon Range juga limbah dari sentuhan personel RAAF yang bertugas mendampingi para perwira TNI AU selama satu tahun dalam mempersiapkan sebuah skadron udara. Dengan kelengkapan fasilitas latihan untuk skadron udara maka Lanuma Iswahyudi ditetapkan sebagai pangkalan model – atau model pangkalan buat TNI AU yang akan membangun dan mengembangkan sebuah pangkalan udara. Nantinya semua pangkalan yang ada akan meniru Lanuma Iswahyudi. Termasuk pangkalan yang dikembangkan kemudian yaitu Medan, Pekanbaru, Makassar dan Kupang.
Sayang kemampuan pemukul F-86 yang dioperasikan di Skadron Udara-14 tidak dapat dipergunakan dalam operasi Seroja yang digelar di Timor Timur pada Desember 1975. Berapa jam sebelum F-86 berangkat ke Bacau keluar perintah untuk membatalkan operasi udara yang telah dipersiapkan lama, dan akhirnya Operasi Cakar Garuda dibebankan pada Skuadron Udara dengan pesawat T-33. Meskipun operasi Cakar Garuda terlambat beberapa bulan menunggu proses untuk mempersenjatai pesawat T-33, namun operasi udara dapat berjalan dengan baik sambil menunggu kedatangan peawat OV-10F yang baru datang pada akhir tahun 1976.
Memang pesawat F-86 tidak terlibat operasi bersenjata yang digelar TNI, namun kehadiran pesawat Sabre telah mengangkat nama TNI AU saat tampil dalam demo udara di Senayan tanggal 5 Oktober 1978. Dengan hanya persiapan selama dua bulan Skadron Udara -14 berhasil menampilkan sebuah tim aerobatik dengan 12 manuver yang spektakuler. Penampilan yang dilengkapi dengan smoke trail apa adanya dengan mengisi salah satu tangki pesawat dengan oh jenis 0M-11 sehingga asap berwarna putih dapat tersajikan. Padahal untuk mengoperasikan asap ini salah satu switch di pesawat yaitu landing gears light switch telah diubah fungsinya untuk menyalakan lampu landing gears dan mematikan asap putih. Apresiasi buat tim Dislitbangau yang telah menciptakan alat ini meskipun satu pesawat yaitu F-8606 menjadi rusak flaps akibat korosi saat dicobakan asap berwarna dengan menambahkan konsentrat pada bahan bakar pesawat.
Masuk museum
Selama tujuh tahun dioperasikan, 38 pilot tempur TNI AU telah menerbangkan pesawat ini dan menyandang predikat pilot kombatan. Pilot kombatan yang hebat karena untuk terbang dengan pesawat ini sang siswa harus terbang solo sejak awal – karena memang pesawat ini tidak ada jenis dual control. Dari 38 pilot tempur hanya satu yang meninggal di pesawat (Mayor Pnb Budiardjo Soerono) sementara tiga pilot telah menggunakan kursi lontar dan selamat. Keempat pesawat yang mengalami kecelakaan dalam waktu terpisah tersebut semua hancur. Sisa pesawat Sabre kini masih dapat dilihat satu di Museum Dirgantara Mandala, satu di Wingdiktekal Lanud Husein Sastranegara sebagai alat peraga dan delapan menjadi monumen di berbagai kota. Dua dikembalikan ke Australia dan sisanya sebanyak tujuh unit dibeli oleh sebuah perusahaan Amerika bernama Aero Trader pada tahun 1989 dan dionggokkan di Actolio Wells sebagai besi tua.
Seusai Masa Bakti
Selama menjadi alutsista di jajaran TNI AU, F-86 Sabre selain menjadi pesawat yang menghantar para pilot untuk menjadi penerbang pesawat tempur moderen juga berhasil menciptakan sejarah penerbangan tersendiri. Tapi setelah puma tugas, sejumlah F-86 TNT AU itu pun di grounded. Sebagian dipajang di sejurnlah tempat sebagai museum dan sebagian lagi dibeli oleh perusahaan Aero Trader dari AS. Tak semua F-86 yang dipajang sebagai museum terawat baik demikian juga yang dibawa ke AS. Sebagai saksi sejarah penerbangan TNI AU, F-86 yang difungsikan sebagai museum seharusnya dirawat dengan sebaik-baiknya.
Operasi Alpha "Ketika TNI-AU Melakukan Pembelian 32 Pesawat A4 Skyhawk Dari Israel"
“Mengecewakan! Rencana terbang yang susah payah kususun rapi langsung dibatalkan pagi-pagi. Aku mendapat perintah untuk menghadap komandan skadron. Yang terpikir, aku tidak lulus latihan terbang di Israel dan pulang ke Indonesia sebagai pilot pesakitan. Semua bayangan buruk musnah sudah. Aku ternyata menerima perintah baru untuk terbang dalam format sama, tetapi berbeda rute. Sebuah peta disodorkan lengkap dengan titik-titik rute. Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu dua belas menit harus kembali ke luar. Yang membuatku gugup, garis merah itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Suriah”.
“Mengecewakan! Rencana terbang yang susah payah kususun rapi langsung dibatalkan pagi-pagi. Aku mendapat perintah untuk menghadap komandan skadron. Yang terpikir, aku tidak lulus latihan terbang di Israel dan pulang ke Indonesia sebagai pilot pesakitan. Semua bayangan buruk musnah sudah. Aku ternyata menerima perintah baru untuk terbang dalam format sama, tetapi berbeda rute. Sebuah peta disodorkan lengkap dengan titik-titik rute. Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu dua belas menit harus kembali ke luar. Yang membuatku gugup, garis merah itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Suriah”.
Cerita diatas adalah
sepenggal kisah dari seorang pilot yang tergabung dalam operasi alpha,
operasi alpha adalah operasi klandestin terbesar yang dilakukan oleh TNI
AU, dimana TNI AU melatih pilot dan melakukan pembelian 32 pesawat A-4
Skyhawk dari Israel. Berikut adalah kutipan tentang operasi alpha yang
diambil dari buku otobiografi Djoko F Poerwoko “Menari di Angkasa”.
Operasi Alpha
Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 dan T-33 memang sudah tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.
Dari penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan berita, bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan personel. Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai tim terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan flight garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Kami mendarat pada senja hari di Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan. Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukan ke Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelojen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu segera mengambil semua paspor yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap…”
Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond. Bahkan sekalanya lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk ke Indonesia tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh karena kami bersepuluh kemudian langsung berganti identitas yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu juga.
Setelah acara makan malam, kami harus segera bergegas menuju Bandara Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semakin aneh perjalanan, baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel Aviv pada penerbangan berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan, sebagai bagian dari operasi intelijen. Kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya manu dengan hati berdebar.
Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasi Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke negaranya.Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai diruang bawah tanah, persaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air. sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan instruktur ku.
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago didunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hapalkan saja dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu.Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal.
Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?”
Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan samasekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia.
Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas sama sekali. Terimakasih juga untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang operasi alpha dalam acara special operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin Kasau dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi berkomentar. Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak unung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4 digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi.
Sumber : Poerwoko, Djoko F. Menari di Angkasa. Kata hasta pustaka. Jakarta. 2007
Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 dan T-33 memang sudah tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.
Dari penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan berita, bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan personel. Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai tim terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan flight garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Kami mendarat pada senja hari di Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan. Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukan ke Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelojen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu segera mengambil semua paspor yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap…”
Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond. Bahkan sekalanya lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk ke Indonesia tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh karena kami bersepuluh kemudian langsung berganti identitas yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu juga.
Setelah acara makan malam, kami harus segera bergegas menuju Bandara Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semakin aneh perjalanan, baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel Aviv pada penerbangan berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan, sebagai bagian dari operasi intelijen. Kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya manu dengan hati berdebar.
Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasi Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke negaranya.Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai diruang bawah tanah, persaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air. sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan instruktur ku.
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago didunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hapalkan saja dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu.Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal.
Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?”
Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan samasekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia.
Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas sama sekali. Terimakasih juga untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang operasi alpha dalam acara special operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin Kasau dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi berkomentar. Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak unung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4 digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi.
Sumber : Poerwoko, Djoko F. Menari di Angkasa. Kata hasta pustaka. Jakarta. 2007
Cessna T 41 D
AS 202 Bravo
Grob G120TP
Perusahaan Grob Aircraft telah mendapatkan pembeli untuk pesawat jenis G120TP-nya. Angkatan udara Indonesia berencana akan menambahkan pesawat G120TP tersebut kedalam armadanya, yang nantinya akan difungsikan sebagai pesawat latih dasar menggantikan AS 202 Bravo.
Grob Aircraft mengatakan, "G120TP turboprop telah dipilih setelah menghadapi persaingan ketat dari Finmeccanica [Alenia Aermacchi] SF-260TP dan Pasifik Aerospace CT-4".
Pengiriman akan dimulai pada tahun 2012, dan perusahaan ini juga akan menyediakan sistem pelatihan darat berbasis komputer, perlengkapan untuk briefing misi dan pembekalan, simulasi kokpit dan paket penuh untuk dukungan pemeliharaan.
Pengiriman akan dimulai pada tahun 2012, dan perusahaan ini juga akan menyediakan sistem pelatihan darat berbasis komputer, perlengkapan untuk briefing misi dan pembekalan, simulasi kokpit dan paket penuh untuk dukungan pemeliharaan.
Kesepakatan ini, kemungkinan untuk sekitar 18 pesawat.
SF 260 MS / WS
T 34 C Turbo Mentor
KT 1 B Wong Bee
Ada 12
pesawat KAI KT 1 B. Pesawat latih dasar yang diterima TNI AU antara
bulan Juni 2003 dan bulan Agustus 2007. 5 diantaranya dirakit di PT DI
Bandung. Dan pada tanggal 24 Juni 2010 satu peasawat KT 1 B jatuh di
Bandara Ngurah Rai Bali.
Penerjunan pasukan dari "pantat" Bronco
North American Rockwell OV-10F Bronco
OV-10 Bronco (Kuda Liar Pelibas GPK Andalan TNI AU)
Introduction
OV-10 Bronco adalah pesawat militer ringan berbaling-baling bermesin ganda buatan North American Rockwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat angkut ringan. Pesawat ini dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau anti-gerilya. Walaupun memiliki sayap tetap, kemampuannya mirip dengan kemampuan helikopter serbu berat yang cepat, mampu terbang jarak jauh, murah dan sangat dapat diandalkan.
OV-10 Bronco mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3 jam atau lebih. Pesawat ini berharga karena kemampuannya dalam mengemban berbagai misi, memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek, biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan. Dalam banyak kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu mesin.
Ditangan TNI AU
Ulah GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) kerap harus dihadapi dengan tindakan tegas, salah satunya dengan opsi militer. Nah, dari sekian banyak cara untuk mematahkan aksi GPK, boleh jadi harus mencontoh kehebatan pesawat tempur OV-10F Bronco, sebagai pesawat dengan turbo propeller (baling-baling), Bronco sangat pas untuk misi anti gerilya dengan kecepatan yang tak terlampau tinggi, pas untuk ”menghabisi” secara akurat titik-titik konsentrasi pasukan gerilya GPK.
Bronco tergolong pesawat yang punya reputasi tempur tinggi, tak cuma di kancah perang Vietnam, di Indonesia sendiri pesawat yang dijuluki ”Kampret” ini punya reputasi yang memukau dalam banyak medan tempur. Kiprah terbesarnya tak lain saat memberikan BTU (bantuan tembakan udara) saat operasi Seroja melawan pasukan Fretilin di Timor-Timur, kemudian Bronco juga terlibat aktif dalam mendukung operasi penumpasan GPK Aceh Merdeka. Dan masih banyak operasi lain yang melibatkan Kuda liar ini.
Bronco dihadirkan oleh TNI-AU sebagai pengganti P-51 Mustang si ”Cocor Merah” yang masuk dalam usia pensiun di era tahun 70-an. Bronco dipandang sesuai untuk melakukan operasi pertempuran di dalam negeri, khsusunya untuk meredam pemberontakan yang marak muncul di Tanah Air. Hal ini disebabkan persenjatan Bronco memang dirancang untuk anti personel. Yakni berupa empat pucuk senjata kaliber 12,7 mm di tiap-tiap sponson-nya (merupakan modifikasi, bersi awalnya Bronco menggunakan senjata M60 kaliber 7,6 mm), kemudian lima buah station dibawah fuselage bomb untuk segala fungsi dan berat, mulai dari bom 100 Kg sampai 250 Kg jenis ZAB, MK-28, OFAB dan bisa disiapkan dengan peluncur roket FFAR.
Untuk melindung pilot dan navigator dari terjangan peluru lawan, canopy depan dan lantai dasar Bronco dibalut lapisan anti peluru. Bronco juga punya kemampuan untuk menerjunkan pasukan. Dari semua negara pengguna Bronco, termasuk US Air Force dan US Navy, baru Indonesia yang pernah melaksanakan dropping pasukan. Salah satunya pernah diadakan ”combat free fall” dengan jumlah empat orang dari ”pantat” Bronco. Untuk misi jarak jauh, kompartmen di bagian ”pantat” bisa disulap sebagai tanki bahan bakar, seperti digunakan saat penerbangan ferry Bronco dari AS menuju Indonesia.
Jumlah Bronco yang dimiliki TNI-AU total ada 16 unit. Pada awal kehadirannya Bronco masuk dalam skadron 3, kemudian berpindah menjadi warga skadron 1 pembom. Seiring waktu berjalan dan pengabdian, jumlah Bronco terus berkurang hingga hanya layak disebut sebagai ”unit” dan nasibnya terselamatkan dengan pembentukan skadron udara 21. Ada kabar sebelumnya bahwa Thailand akan menjual 20 Bronco kepada Indonesia, tapi hingga kini belum ada realisasi lebih lanjut.
Dengan usia terbang yang lebih dari 30 tahun, membuat terbang Bronco lumayan berisiko, terakhir sebuah Bronco jatuh pada bulan Juli 2007 di area persawahan di kota Malang, dua awaknya dilaporkan tewas. TNI-AU pun tengah menunggu untuk mendapatkan pengganti Bronco, kandidat yang diajukan adalah EMB-314 Super Tucano dari Brazil dan KO-1 dari Korea Selatan.
Dengan kecepatan terbang yang rendah, Bronco pas untuk aksi COIN (Counter Insurgency), tapi bisa jadi buah simalakama bila menghadapi senjata penangkis serangan udara. Dengan kecepatan terbang yang rendah Bronco bisa jadi santapan empuk meriam dan rudal anti pesawat. Hal inilah yang menjadi kendala Bronco saat beraksi dalam perang Vietnam.
Sampai perang Teluk di tahun 1992, Bronco tetap eksis digunakan oleh US Marine sebagai pesawat intai. Berbeda dengan Bronco milik TNI-AU, Bronco milik US Marine dilengkapi alat pengintai canggih, kamera terintegrasi, radar, FLIR (Forward Looking Infrared) dan lebih hebat lagi Bronco US Marine bisa menggotong rudal udara ke udara Sidewinder. Sayang Bronco TNI-AU tak sempat di upgrade untuk persenjataan lebih canggih. Selain Indonesia, Bronco juga dipakai oleh Jerman, Thailand, Venezuela dan AS tentunya.
Spesifikasi OV-10F Bronco
Produsen : North American, Rockwell Internationa
Kru : 2
Lebar sayap : 12,9 meter
Tinggi : 4,62 meter
Berat kosong : 3,127 Kg
Berat Max Take off : 6,522 Kg
Mesin : 2 x Garret T76 G-410/412 turboprop, 715 hp (533 kW) each
Kecepatan Max : 452 Km / jam
Jarak Tempuh : 358 Km
Pengguna
Amerika Serikat
Jerman Barat
Thailand
Venezuela
Indonesia
Introduction
OV-10 Bronco adalah pesawat militer ringan berbaling-baling bermesin ganda buatan North American Rockwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat angkut ringan. Pesawat ini dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau anti-gerilya. Walaupun memiliki sayap tetap, kemampuannya mirip dengan kemampuan helikopter serbu berat yang cepat, mampu terbang jarak jauh, murah dan sangat dapat diandalkan.
OV-10 Bronco mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3 jam atau lebih. Pesawat ini berharga karena kemampuannya dalam mengemban berbagai misi, memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek, biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan. Dalam banyak kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu mesin.
Ditangan TNI AU
Ulah GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) kerap harus dihadapi dengan tindakan tegas, salah satunya dengan opsi militer. Nah, dari sekian banyak cara untuk mematahkan aksi GPK, boleh jadi harus mencontoh kehebatan pesawat tempur OV-10F Bronco, sebagai pesawat dengan turbo propeller (baling-baling), Bronco sangat pas untuk misi anti gerilya dengan kecepatan yang tak terlampau tinggi, pas untuk ”menghabisi” secara akurat titik-titik konsentrasi pasukan gerilya GPK.
Bronco tergolong pesawat yang punya reputasi tempur tinggi, tak cuma di kancah perang Vietnam, di Indonesia sendiri pesawat yang dijuluki ”Kampret” ini punya reputasi yang memukau dalam banyak medan tempur. Kiprah terbesarnya tak lain saat memberikan BTU (bantuan tembakan udara) saat operasi Seroja melawan pasukan Fretilin di Timor-Timur, kemudian Bronco juga terlibat aktif dalam mendukung operasi penumpasan GPK Aceh Merdeka. Dan masih banyak operasi lain yang melibatkan Kuda liar ini.
Bronco dihadirkan oleh TNI-AU sebagai pengganti P-51 Mustang si ”Cocor Merah” yang masuk dalam usia pensiun di era tahun 70-an. Bronco dipandang sesuai untuk melakukan operasi pertempuran di dalam negeri, khsusunya untuk meredam pemberontakan yang marak muncul di Tanah Air. Hal ini disebabkan persenjatan Bronco memang dirancang untuk anti personel. Yakni berupa empat pucuk senjata kaliber 12,7 mm di tiap-tiap sponson-nya (merupakan modifikasi, bersi awalnya Bronco menggunakan senjata M60 kaliber 7,6 mm), kemudian lima buah station dibawah fuselage bomb untuk segala fungsi dan berat, mulai dari bom 100 Kg sampai 250 Kg jenis ZAB, MK-28, OFAB dan bisa disiapkan dengan peluncur roket FFAR.
Untuk melindung pilot dan navigator dari terjangan peluru lawan, canopy depan dan lantai dasar Bronco dibalut lapisan anti peluru. Bronco juga punya kemampuan untuk menerjunkan pasukan. Dari semua negara pengguna Bronco, termasuk US Air Force dan US Navy, baru Indonesia yang pernah melaksanakan dropping pasukan. Salah satunya pernah diadakan ”combat free fall” dengan jumlah empat orang dari ”pantat” Bronco. Untuk misi jarak jauh, kompartmen di bagian ”pantat” bisa disulap sebagai tanki bahan bakar, seperti digunakan saat penerbangan ferry Bronco dari AS menuju Indonesia.
Jumlah Bronco yang dimiliki TNI-AU total ada 16 unit. Pada awal kehadirannya Bronco masuk dalam skadron 3, kemudian berpindah menjadi warga skadron 1 pembom. Seiring waktu berjalan dan pengabdian, jumlah Bronco terus berkurang hingga hanya layak disebut sebagai ”unit” dan nasibnya terselamatkan dengan pembentukan skadron udara 21. Ada kabar sebelumnya bahwa Thailand akan menjual 20 Bronco kepada Indonesia, tapi hingga kini belum ada realisasi lebih lanjut.
Dengan usia terbang yang lebih dari 30 tahun, membuat terbang Bronco lumayan berisiko, terakhir sebuah Bronco jatuh pada bulan Juli 2007 di area persawahan di kota Malang, dua awaknya dilaporkan tewas. TNI-AU pun tengah menunggu untuk mendapatkan pengganti Bronco, kandidat yang diajukan adalah EMB-314 Super Tucano dari Brazil dan KO-1 dari Korea Selatan.
Dengan kecepatan terbang yang rendah, Bronco pas untuk aksi COIN (Counter Insurgency), tapi bisa jadi buah simalakama bila menghadapi senjata penangkis serangan udara. Dengan kecepatan terbang yang rendah Bronco bisa jadi santapan empuk meriam dan rudal anti pesawat. Hal inilah yang menjadi kendala Bronco saat beraksi dalam perang Vietnam.
Sampai perang Teluk di tahun 1992, Bronco tetap eksis digunakan oleh US Marine sebagai pesawat intai. Berbeda dengan Bronco milik TNI-AU, Bronco milik US Marine dilengkapi alat pengintai canggih, kamera terintegrasi, radar, FLIR (Forward Looking Infrared) dan lebih hebat lagi Bronco US Marine bisa menggotong rudal udara ke udara Sidewinder. Sayang Bronco TNI-AU tak sempat di upgrade untuk persenjataan lebih canggih. Selain Indonesia, Bronco juga dipakai oleh Jerman, Thailand, Venezuela dan AS tentunya.
Spesifikasi OV-10F Bronco
Produsen : North American, Rockwell Internationa
Kru : 2
Lebar sayap : 12,9 meter
Tinggi : 4,62 meter
Berat kosong : 3,127 Kg
Berat Max Take off : 6,522 Kg
Mesin : 2 x Garret T76 G-410/412 turboprop, 715 hp (533 kW) each
Kecepatan Max : 452 Km / jam
Jarak Tempuh : 358 Km
Pengguna
Amerika Serikat
Jerman Barat
Thailand
Venezuela
Indonesia
BAe Hawk Mk 53
BAe Hawk Mk 109
BAe Hawk Mk 209
Pesawat
Hawk merupakan pesawat tempur taktis utama yang ditempatkan di Skuadron
Udara 1 dan 12 yang diterima TNI AU sebanyak 40 buah pada bulan Mei
1996. Hawk Mk 200 menggantikan pesawat OV 10 Bronco. Ada 10 pesawat yang
telah ajatuh dan saat ini ada 7 buah pesawat Hawk Mk 109 dan 26 Hawk Mk
209 yang masih beroperasi. Dan berikut beberapa data tentang jatuhnya
pesawat Hawk Mk 109 dan Hawk Mk 209:
Pada tgl 21November 2006, type pesawat Hawk Mk209, no register TT-0207 dari Skadron Udara 12, menagalami kecelakaan di Pelabuhan Udara Sultan Sarif Kasim II peasawat tergelincir keluar landasan setelah mendarat. pilot yang bernama Mayor Pnb Dadang melompat dengan kursi lontar Martin-Baker Mk.10 dengan selamat (sumber dari : http://www.ejection-history.org.uk/Aircraft_by_Type/HAWK/HAWK.htm).
Pada tgl 21November 2006, type pesawat Hawk Mk209, no register TT-0207 dari Skadron Udara 12, menagalami kecelakaan di Pelabuhan Udara Sultan Sarif Kasim II peasawat tergelincir keluar landasan setelah mendarat. pilot yang bernama Mayor Pnb Dadang melompat dengan kursi lontar Martin-Baker Mk.10 dengan selamat (sumber dari : http://www.ejection-history.org.uk/Aircraft_by_Type/HAWK/HAWK.htm).
Pada
tanggal 30 Oktober 2007 jam 08.49 WIB dengan penerbang Kapten Hermawan
M. Qisha menggunakan pesawat Hawk Mk 209 no register TT 0203. Komandan
Lanud Pekanbaru Kolonel Gandhara Olivenca didampingi Kepala Penerangan
dan Perpustakaan (Kapentak) Mayor (Sus) Dede Nasruddin kepada wartawan
mengatakan belum bisa memastikan penyebab kecelakaan. "Kami belum bisa
menjelaskan penyebab kecelakaan. Saat ini kami masih melakukan
penyelidikan. Tapi, yang pasti pesawat tergelincir di ujung landasan
pacu, dengan pilot dalam keadaan selamat," terang Danlanud. Dia
menjelaskan, ketika itu tiga pesawat tempur hendak terbang. Namun,
karena pesawat mengalami masalah, pilot Kapten H.M. Qisha memutuskan
membatalkan penerbangan yang kemudian membuat ’burung besi’ itu
terguling. Untungnya, aparat TNI-AU di lanud sigap. Mereka bertindak
cepat untuk menyelamatkan pilot M. Qisha yang hampir kehabisan oksigen.
"Pilot diselamatkan tanpa kurang sesuatu apa pun," tuturnya. Bagaimana
kondisi pesawat? Yang agak ’menolong’ tidak terjadi ledakan atau kobaran
api. Walaupun terbalik, bodi pesawat tidak rusak parah. Danlanud juga
mengaku baru saja menggelar rapat dengan Komandan Panglima Operasional I
Wilayah Barat Marsekal Muda Edi Wiyatmoko. Dia mengatakan, pesawat yang
tergelincir itu merupakan produksi 1995 dengan produsen negara Inggris.
Kerusakan pesawat sementara ditaksir 40 persen. Yang membuat prihatin,
kejadian itu yang kedua dalam dua tahun terakhir. Pesawatnya sama dan
tempatnya sama. Kejadian pertama pada medio November 2006. Saat itu juga
tak ada korban jiwa.(sumber :
http://202.158.39.213/content.asp?contentid=3176 atau
http://www.tni-au.mil.id/ dan
http://www.depdagri.go.id/news/2007/10/31/tergelincir-hawk-tni-au-terbalik
dan
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=18439)
Agung "sharky" Sasongko Jati jatuh menggunakan Hawk Mk.109 di Pekanbaru.
Northrop F-5F Tiger II
Sebanyak
12 pesawat F 5 E Tiger dan 5 buah pesawat F 5 F yang menggantikan CA27
Sabre dan ditempatkan di Skuadron Udara 14. 11 pesawat masih beroperasi
dan dalam waktu dekat akan segera diganti.
8 buah
pesawat F 16 A dan 4 F 16 B menggantikan OV 10 Bronco dan ditempatkan
di Skudron Udara 3 pada tahun 1989 . Pesawat ini merupakan salah satu
pesawat modern milik TNI AU aayang masih beroperasi. Anatara tahun 1996
dan 1999 pesawat F 16 ini digunakan untuk Blue Eagle Aerobatic Team
(Team Aerobatik Elang Biru). Dan saat ini masih ada 10 pesawat F 16 A /B
yang masih beroperasi dan membutuhkan untuk di up grade agar lebih
efektif.
SU 27 Flangker
SU 30 MK Super Flangker
SU 27 Flangker & SU 30 MK Super Flangker
Pesawat
tempur utama milik TNI AU yang berfungsi sebagai pesawat tempur sergap
adalah SU 27/30 Flanker dan TNI AU adalah pengguna SU 27 SK. Antara
bulan September 2003 sampai dengan September 2010 ada 10 buah pesawat
Flanker yang diterima oleh TNI AU dan ditempatakan di Skuadron Udara 11
serta menggantikan pesawat A 4 E Sky Hawk.
EMB-314 kokpit bagian tempat duduk depan
Kokpit EMB-314 EFIS, HUD, HOTAS dan FLIR capable.
EMB-314 kokpit bagian tempat duduk belakang
EMB-314 Super Tucano
Super Tucano Sqd. 21 rencana ditempatkan di base Tarakan dan Malang,
hanggar di Malang dan di Tarakan sudah dibangun..perkiraan Super Tucano
tiba akhir 2011 hingga 2012
Piper
CN 212 Aviocar
CN 235 MPA Tetuko
Fokker 27 400 M
Setelah
35 tahun beroperasi terdapat 6 buah pesawat F 27 400 M yang masih
beroperasi dari 8 yang diterima oleh TNI AU pada tahun 1976.
C 130 Hercules
Sebuah C 130 H MP ayang diterima pada tahun 1981 telah jatuh tahun 1985 di Medan.
Foker F 28
Boeing 737-2X9 Adv Surveiller
Tampilannya tak beda jauh dengan pesawat komersial biasa, akan tetapi
kemampuannya sangat luar biasa. Pesawat Boeing-737 milik TNI Angkatan
Udara ini mampu mengamati seluruh gerak-gerik di atas perairan
Indonesia yang luasnya mencapai 8,5 juta kilometer persegi.
Sesuai dengan tugasnya, tiga pesawat Boeing-737 Maritime Patrol yang
berbasis di Skadron Udara 5 Pangkalan Udara (Lanud) Hasanuddin,
Makassar, ini setiap hari melakukan pengamatan udara dan maritim (air
and maritime surveillance) di seluruh wilayah perairan Indonesia.
Secara bergantian ketiganya mengamati secara sistematik ruang udara,
permukaan daratan, maupun perairan, lokasi, atau tempat, sekelompok
manusia atau obyek-obyek lain, baik secara visual, aural, fotografis,
elektronis, maupun dengan cara lain.
“Tugas kami hanya mendeteksi. Hasil deteksi yang diperoleh disampaikan
ke komando atas, yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Bila perlu
hasil deteksi itu dikoordinasikan dengan TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Darat, Kepolisian RI, atau instansi terkait,” ungkap Kapten
(Pnb) Sumanto, Komandan Flight Operasi Skadron 5.
Peran pengamatan udara itu penting bagi Indonesia untuk dapat
dimanfaatkan mencegah pengambilan ikan secara ilegal oleh nelayan
asing, dan untuk menggagalkan penyelundupan kayu, serta minyak yang
sampai sekarang masih marak di perairan Indonesia.
Skuadron
5 yang berpangkalan di Lanud hasanuddin, Makassar, menerima tiga Boeing
B737-200 2X9 Surveiller untuk menggantikan Grumman UF-1 Albatross.
Pesawat berjulukan Camar Emas ini diberi registrasi AI-7301, AI-7302,
dan AI-7303. Pengiriman pesawat yang dipesan April 1981 ini dilakukan
secara maraton mulai dari 20 Mei 1982, 30 Juni 1983, dan 3 Oktober 1983.
dengan kekuatan tiga pesawat, berarti tiap pesawat harus melakukan
pengintaian sepertiga wilayah Indonesia.Dari segi performa, Camar Emas tidak kalah garang dengan pesawat pengintai yang telah terkenal seperti E-8-J-STARS (Joint Surveillance and Target Attack Radar System), E-3 Sentry AWACS, Bariev A-50 Mainstay AWACS, DC-8-72F SARIGUE NG, P-3C Orion atau radar terbang masa datang Australia B737-700 Wedgetail versi New Generation B737 yang dikonversi untuk kepentingan intelijen. Tidak percaya? Intip saja alat pengendus yang diusung.
Dihidungnya ada radar double agent AN/APS-504 (V)5. selain berfungsi konvensional, radar ini bisa diset mendeteksi sasaran di permukaan atau di udara. Jarak pindainya luar biasa, 256 Nm (Nano Meter). Navigasi dan komunikasinya juga kompak. Saat ini B737 dilengkapi sistem navigasi INS LTN-72R terintegrasi dengan GPS. Karena memainkan peran penting dalam air intelligence, komunikasi tidak saja masuk kategori wajib, tapi juga harus mempunyai tingkat aksesbilitas tinggi. Untuk B737, saluran telepon bisa terhubung langsung dengan komando pusat. Tampilan instrumen yang menawan (pilot color high resolution display), makin mempercanggih suasa kokpit.
Tugas pokok Skadron 5 adalah, melakukan pengintaian udara strategis dan pengawasan maupun pengamanan terhadap semua objek bergerak di permukaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan jalur lalu lintas damai. Informasi yang dihasilkan B737 sangat penting dalam masa perang dan damai. Kegiatan eksploitasi informasi dalam hubungannya dengan air power terdiri dari tiga hal. Yaitu informasi, reconnaissance, dan surveillace. Hubungan ketiga faktor ini dengan intelijen sangat erat.
Maritime Patrol ini dilengkapi peralatan Motorola AN/APS-135 SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar), suatu alat sensor dengan daya deteksi yang sangat kuat pada suatu daerah yang sangat luas. Dengan SLAMMR, Boing-737 ini mampu mendeteksi wilayah perairan seluas 85.000 mil persegi per jam. Di tambah lagi peralatan navigasi Internal Navigation System dan Omega Navigation System serta peralatan komunikasi modern.
Tiga pesawat Boeing-737 itu berbasis di Skadron Udara 5 Lanud Hasanuddin, Makassar, sejak 1 Juni 1982. Tahun 1993, ketiganya menjalani up-grade di tempat kelahirannya di Seattle, Amerika Serikat. Sehingga mengalami peningkatan kemampuan pada SLAMMR Real Time, Infra Red, Search Radar, serta sistem navigasi dan komunikasi yang diintegrasikan dengan DPDS (Data Processing Display System).
Dengan kemampuan yang dimiliki itu, Boeing-737 Maritime Patrol melakukan tugas pengawasan dan pengintaian di perairan Nusantara, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Di samping itu, mengawasi daerah musuh tanpa harus terbang di atas wilayahnya.
Dengan jumlah pesawat yang masih terbatas untuk memantau wilayah kita yang sangat luas, Skadron Udara 5 dituntut mampu mengoptimalkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang ada. “Dalam kondisi seperti ini kita tidak kenal menyerah. Berbekal basis pengetahuan yang dimiliki, kami mencoba mengombinasikan dengan pengalaman yang dihadapi dalam pemeliharaan di lapangan. Pengalaman itu kemudian menjadi pengetahuan yang baru bagi kami, untuk memperpanjang usia pakai peralatan,” kata Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 5, Kapten (Tek) Ifan BM.
Tanggal 14 September 1993, pesawat Boeing 737 AI-7301 kembali dari AS setelah mengalami peningkatan kemampuan dengan modifikasi. Adapun kemampuan yang ditingkatkan adalah Slammr Real Time, Infra Red Detection System (IRDS), Search Radar, sistem navigasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan DPDS (Data Proccessing Display System). Sedangkan untuk pesawat AI-7303 modifikasi dilakukan di IPTN (sekarang PT DI) Bandung. Terakhir kita melihat kiprah pesawat ini saat turut mencari lokasi jatuhnya pesawat Adam Air di laut Sulawesi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Maritime Patrol didukung 64 kru, yang terdiri dari dua orang instruktur/kapten pilot, 12 co-pilot, 16 juru mesin udara (engineering), lima juru muat udara (load master), 10 operator console, 14 observer, tiga juru foto udara, dan dua flight surgeon.
Spesifikasi Boeing 737-200 2X9 Surveiller
Ukuran
Lebar sayap = 28,35 m (93 ft 01 in)
Tinggi = 11,23 m (36 ft 84 in)
Panjang keseluruhan = 30,53 m (100 ft 16in)
Lebar kabin (lantai tingkat) = 3,3 m (10 ft 8 in)
Panjang Kabin = 28,2 m (92 ft 8 in)
Desain
Berat Maksimum Take off= 53.297 kg (117 £ 498)
Berat Maksimum Landing = 47.627 kg (104 £ 998)
Berat Maksimum Bahan Bakar Kosong = 43.090 kg (94 £ 996)
Berat Kosong Operasi = 29.400 kg (64 £ 815)
Kemampuan
Daya Jelajah = 760 km/h (410 kts)
Ketinggian = 10.668 m (35.000 ft)
Kapasitas = 107 Penumpang
Kapasitas Volume Bahan Bakar = 15 635 kg
Boeing 737-400
Boeing 707
Capt Penerbang Rahadi S dengan Bell 47 di Lanud Atang Senjaya, Semplak Bogor 1978.
Bell-47G-3B1
Sebanyak
12 helikopter Bell 47 G-3B1 diterima TNI AU adari Angkatan Darat
Australia pada bulan Juli 1978. Dan semua helicopter ini masih
dipergunakan untuk pelatihan pilot helicopter di Skuadron Udara 7. Hanya
ada satu helicopter yang jatuh pada tahun 2008 dan 11 helikopter
lainnya masih terus beroperasi sampai dengan sekarang.
EC 120 Colibri
Salah
satu jenis roket yang berhasil dimanfaatkan lagi oleh TNI AU adalah
roket "Sura" buatan pabrik Hispano-Suizza yang semula terpasang di
pesawat anti kapal selam TNI AL jenis Gannet saat ini dipasangkan pada
helikopter BO 105 TNI AU.
NBO 105
10
buah helicopter NBO 105 yang digunakan oleh BASARNAS untuk tugas-tugas
SAR yang dibagi menjadi 3 lokasi. 3 buah helikopter ditempatkan di
Skuadron Udara 7 di Lanud Aatang Sanjaya (TNI AU) dan 3 diantaranya
sudah tidak beroperasi lagi. 2 buah helikopter di Lanudal Juanda (TNI
AL) dan satu buah helikopter di Tanjung Pinang (TNI AL). Helikopter HR
1520 ajatuh setelah menghantam air pada tanggal 18 November 2009.
Bell 204
S 58 Twin Pack
AS 330 Puma
AS 332 Super Puma
DAFTAR PANGKALAN UDARA TNI AU
Koopsau I
Tipe A :
Lanud Halim Perdanakusuma (HLP}, Jakarta
Lanud Atang Sendjaja (ATS), Bogor
Tipe B :
Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh
Lanud Medan (MDN), Medan
Lanud Pekanbaru (PBR), Pekanbaru
Lanud Husein Sastranegara (HSN), Bandung
Lanud Suryadarma (SDM), Subang
Lanud Supadio (SPO), Pontianak
Tipe C :
Lanud Maimun Saleh (MUS), Sabang
Lanud Tanjung Pinang (TPI), Tanjung Pinang
Lanud Hang Nadim, Batam
Lanud Ranai (RNI), Natuna
Lanud Padang (PDA), Padang
Lanud Palembang (PLG), Palembang
Lanud Tanjung Pandan (TDN), Belitung
Lanud Wiriadinata (TSM), Tasikmalaya
Tipe D :
Lanud Astra Kestra (ATK), Lampung
Lanud Sugiri Sukani (SKI), Cirebon
Lanud Wirasaba (WSA), Purwokerto
Lanud Singkawang II (SWII), Singkawang
Rencana Pembangunan :
Lanud Piobang (PBG) , Payakumbuh
Lanud Gadut (GDT) , Bukittinggi
Koopsau II
Tipe A :
Lanud Hasanuddin (HND), Makassar
Lanud Iswahyudi (IWJ), Madiun
Lanud Abdul Rachman Saleh (ABD), Malang
Tipe B :
Lanud Surabaya (SBY), Surabaya
Lanud Pattimura (PTM), Ambon
Lanud Jayapura (JAP), Jayapura
Tipe C :
Lanud Iskandar (IKR), Pangkalan Bun
Lanud Syamsuddin Noor (SAM), Banjarmasin
Lanud Balikpapan (BPP), Balikpapan
Lanud Ngurah Rai (RAI), Denpasar
Lanud Rembiga (RBA), Mataram
Lanud Eltari (ELI), Kupang
Lanud Wolter Monginsidi (WMI), Kendari
Lanud Sam Ratulangi (SRI), Manado
Lanud Manuhua (MNA), Biak
Lanud Timika (TMK), Timika
Lanud Merauke (MRE), Merauke
Lanud Tarakan (TAK), Tarakan (Dalam tahap pembangunan)
Tipe D :
Lanud Morotai (MRT), Halmahera Utara
Lanud Dumatubun (DMN), Tual
Kodikau
Lanud Adi Sutjipto (ADI), Jogjakarta
Lanud Adisumarmo (SMO), Solo
Lanud Sulaiman, Bandung
Tipe A :
Lanud Halim Perdanakusuma (HLP}, Jakarta
Lanud Atang Sendjaja (ATS), Bogor
Tipe B :
Lanud Sultan Iskandar Muda (SIM), Banda Aceh
Lanud Medan (MDN), Medan
Lanud Pekanbaru (PBR), Pekanbaru
Lanud Husein Sastranegara (HSN), Bandung
Lanud Suryadarma (SDM), Subang
Lanud Supadio (SPO), Pontianak
Tipe C :
Lanud Maimun Saleh (MUS), Sabang
Lanud Tanjung Pinang (TPI), Tanjung Pinang
Lanud Hang Nadim, Batam
Lanud Ranai (RNI), Natuna
Lanud Padang (PDA), Padang
Lanud Palembang (PLG), Palembang
Lanud Tanjung Pandan (TDN), Belitung
Lanud Wiriadinata (TSM), Tasikmalaya
Tipe D :
Lanud Astra Kestra (ATK), Lampung
Lanud Sugiri Sukani (SKI), Cirebon
Lanud Wirasaba (WSA), Purwokerto
Lanud Singkawang II (SWII), Singkawang
Rencana Pembangunan :
Lanud Piobang (PBG) , Payakumbuh
Lanud Gadut (GDT) , Bukittinggi
Koopsau II
Tipe A :
Lanud Hasanuddin (HND), Makassar
Lanud Iswahyudi (IWJ), Madiun
Lanud Abdul Rachman Saleh (ABD), Malang
Tipe B :
Lanud Surabaya (SBY), Surabaya
Lanud Pattimura (PTM), Ambon
Lanud Jayapura (JAP), Jayapura
Tipe C :
Lanud Iskandar (IKR), Pangkalan Bun
Lanud Syamsuddin Noor (SAM), Banjarmasin
Lanud Balikpapan (BPP), Balikpapan
Lanud Ngurah Rai (RAI), Denpasar
Lanud Rembiga (RBA), Mataram
Lanud Eltari (ELI), Kupang
Lanud Wolter Monginsidi (WMI), Kendari
Lanud Sam Ratulangi (SRI), Manado
Lanud Manuhua (MNA), Biak
Lanud Timika (TMK), Timika
Lanud Merauke (MRE), Merauke
Lanud Tarakan (TAK), Tarakan (Dalam tahap pembangunan)
Tipe D :
Lanud Morotai (MRT), Halmahera Utara
Lanud Dumatubun (DMN), Tual
Kodikau
Lanud Adi Sutjipto (ADI), Jogjakarta
Lanud Adisumarmo (SMO), Solo
Lanud Sulaiman, Bandung
LOKASI LANDASAN UDARA TNI AU YANG OPERASIONAL :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R
Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E
Elev: 1726 ft
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
LAMBANG SKUADRON UDARA TNI AU YANG PERNAH ADA :
LANDASAN UDARA DENGAN SKUADRON UDARA TNI AU YANG BERPANGKALAN DI LANUD TERSEBUT :
Ujung Pandang/Hasanuddin (WAAA)
Rwy: 13/31
Pos: 05°03'44"S 119°33'14"E
Elev: 47 ft
Skadron Udara 5
B737-2X9
CN235-220-MPA
Skadron Udara 11
Su-27SK
Su-27SKM
Su-30MK
Su-30MK2
Jogyakarta/Adisucipto (WARJ)
Rwy: 09/27
Pos: 07°47'23"S 110°25'52"E
Elev: 421 ft
Skadron Pendidikan 101
AS202/18A-3
Skadron Pendidikan 102
T-34C
KT-1B
Jupiter Aerobatic Team
KT-1B
Bogor/Atang Senjaya Java (WIAJ)
Rwy: 02/20 (grass)
Pos: 06°32'23"S 106°45'19"E
Elev: 558 ft
Skadron Udara 6
NAS332(TT)
Skadron Udara 8
SA330J
NSA330L
NSA330SM
BASARNAS
NBo105CB
Madiun/Iswahjudi (WIAR)
Rwy: 17L/35R, 17R/35L
Pos: 07°36'36"S 111°26'02"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 3 "Sarang Naga" ("Dragon's Nest)
F-16A
F-16B
Skadron Udara 14
F-5E
F-5F
Skadron Udara 15
Hawk Mk53
Malang/Abdulrachman Saleh (WIAS)
Rwy: 17/35, 17L/35R Pos: 07°55'36"S 112°42'50"E Elev: 1726 ft
Skadron Udara 4
NC212M-100
NC212M-200
Skadron Udara 32
C-130B
KC-130B
C-130H
Skadron Udara 21
EMB-314
Pekanbaru/Sultan Syarif Kasim II (WIBB)
Rwy: 18/36
Pos: 00°27'45"N 101°26'36"E
Elev: 138ft
Skadron Udara 12 "Panther Hitam" ("Black Panthers")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
Jakarta/Halim Perdanakusuma (WIIH)
Rwy: 06/24
Pos: 06°15'55"S 106°53'27"E
Elev: 85 ft
Skadron Udara 2
CN235-100M
F27-400M
SF260MS
SF260WS
Skadron Udara 17 "Kereta Kencana" ("Golden Chariots")
B737-2Q8
F27-400M
F28-1000
F28-3000
L100-30
C-130H-30
NAS332L1
AS332L2
Skadron Udara 31
L100-30
C-130H-30
Kalijati/Suryadarma (WIIK)
Rwy: 09/27 (grass)
Pos: 06°31'56"S 107°39'37"E
Elev: 361 ft
Skadron Udara 7
EC120B
Bell 47G-3B-1
Skadron Udara 2 det.
SF260MS
SF260WS
SATUD TANI
PC-6B
Jakarta/Pondok Cabe (WIIP)
Rwy: 18/36
Pos: 06°20'14"S 106°45'51"E
Elev: 200 ft
FASI
AS202/18A-3
L-4J
Aviat Husky A-1
PZL-104
An-2
Gliders
Pontianak/Supadio (WIOO)
Rwy: 15/33
Pos: 00°08'53"S 109°24'10"E
Elev: 10 ft
Skadron Udara 1 "Elang Khatulistiwa" ("Equatorial Eagles")
Hawk Mk109
Hawk Mk209
PANGLIMA TNI AU YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KASAU :
Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma
9/04/1946 - 19/01/1962
Laksamana Madya Omar Dani
19/01/1962 - 24/11/1965
Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang
27/11/1965 - 31/03/1966
Laksamana Udara Roesmin Noerjadin
31/03/1966 - 10/11/1969
Marsekal TNI Soewoto Sukendar
10/11/1969 - 28/03/1973
Marsekal TNI Saleh Basarah
28/03/1973 - 4/06/1977
Marsekal TNI Ashadi Tjahyadi
4/06/1977 - 26/11/1982
Marsekal TNI Soekardi
26/11/1982 - 11/04/1986
Marsekal TNI Oetomo
11/04/1986 - 1/03/1990
Marsekal TNI Siboen Dipoatmodjo
1/03/1990 - 23/03/1993
Marsekal TNI Rilo Pambudi
23/03/1993 - 15/03/1996
Marsekal TNI Sutria Tubagus
15/03/1996 - 3/07/1998
Marsekal TNI Hanafie Asnan
3/07/1998 - 25/04/2002
Marsekal TNI Chappy Hakim
25/04/2002 - 23/02/2005
Marsekal TNI Djoko Suyanto
23/02/2005 - 15/02/2006
Marsekal TNI Herman Prayitno
15/02/2006 - 28/12/2007
Marsekal TNI Subandrio
28/12/2007 - 16/11/2009
Marsekal TNI Imam Sufaat
7/11/2009 - sekarang
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Nasional_Indonesia_Angkatan_Udara
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/04/fighter-bomber-era-1950.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/04/operasi-alpha-ketika-tni-au-melakukan.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/boeing-737-surveillance-jet-pengintai_17.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/f-86-sabre-salah-satu-pioner-pesawat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/kennel-rudal-bongsor-yang-membuat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/ov-10-bronco-kuda-liar-pelibas-gpk.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/t-33a-awalnya-bukan-pesawat-tempur.html
http://www.indoflyer.net/forum/tm.asp?m=383899&mpage=2򇀼
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/04/operasi-alpha-ketika-tni-au-melakukan.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/boeing-737-surveillance-jet-pengintai_17.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/f-86-sabre-salah-satu-pioner-pesawat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/kennel-rudal-bongsor-yang-membuat.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/ov-10-bronco-kuda-liar-pelibas-gpk.html
http://jurnalmiliter.blogspot.com/2011/05/t-33a-awalnya-bukan-pesawat-tempur.html
http://www.indoflyer.net/forum/tm.asp?m=383899&mpage=2򇀼