Cacar Monyet Menyerang Amerika HARI ini, genap seminggu Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, Amerika Serikat, mengumumkan bahwa penyakit cacar monyet telah menjangkiti Amerika Serikat. Pengumuman tanggal 10 Juni itu diikuti dengan pemaparan kasus. Sampai 11 Juni 2003, ada 63 kasus telah disidik, tersebar di empat negara bagian, yaitu Wisconsin (21), Indiana (29), Illinois (12), dan New Jersey (1). DARI jumlah tersebut, sembilan kasus telah diteguhkan lewat diagnosis laboratorik. Di antara kasus tersebut, ditemukan pula kasus pada petugas rumah sakit yang merawat penderita cacar monyet (monkey pox). Untunglah cacar monyet dapat dicegah menggunakan vaksin cacar manusia. Dalam tempo singkat lebih dari 37.000 orang yang berisiko tertular telah divaksin. Karena itu, diperkirakan kasus cacar monyet akan dapat dikendalikan dalam tempo singkat. Diduga virus penyebab cacar monyet masuk ke Amerika lewat perdagangan hewan kesayangan (pet animal) tikus raksasa gambia asal Afrika. Selama berada di toko hewan (pet shop), virus dari tikus gambia berpindah ke anjing padang rumput (prairie dog) dan kelinci. Manusia kemudian tertular lewat kontak, cakaran, atau gigitan hewan kesayangan tersebut. Yang menarik, penyakit ini juga menular antarmanusia. Meskipun asal-usul cacar monyet adalah Afrika, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada petugas laboratorium satwa primata di Kopenhagen, Denmark, 1958. Kejadian cacar monyet di laboratorium primata tersebut bersifat terbatas dan tidak berlanjut. Cacar monyet memang jauh lebih ringan dibandingkan dengan cacar manusia (variola) dan tidak bersifat fatal asalkan kondisi tubuh penderita sebelum terserang cukup sehat. Karena itu bila dibandingkan dengan SARS, cacar monyet tidak perlu ditakuti secara berlebihan. Meskipun demikian, penyakit ini perlu diwaspadai agar dapat didiagnosis secara tepat dan tidak terkecoh dengan cacar manusia yang oleh WHO telah dinyatakan lenyap dari muka bumi. Mengingat perdagangan hewan kesayangan eksotik lewat pet shop juga telah menyebar ke berbagai tempat di Indonesia, penyakit yang dapat menular dari hewan liar ke manusia perlu mendapat perhatian pihak berwenang. Tanda penyakit Sekilas kasus cacar monyet sulit dibedakan dengan cacar manusia. Masa inkubasi cacar monyet berkisar 7-17 hari. Penderita umumnya demam kemudian disusul timbulnya bercak-bercak merah pada kulit yang diikuti dengan terbentuknya makula, papula, dan vesikula, yakni jendulan berisi cairan. Bercak merah berawal dari wajah kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Vesikula akan pecah meninggalkan "kawah" kecil pada permukaan kulit. Selain demam, penderita kadang-kadang juga sakit tenggorokan. Secara kasatmata ditemukan pembesaran kelenjar pertahanan regional (lymphnode) di daerah serviks dan lipat paha. Pembesaran lymphnode pada cacar monyet bahkan lebih besar dibandingkan dengan cacar manusia. Kemampuan penularan virus cacar monyet jauh lebih lambat dibandingkan dengan cacar manusia. Dalam kurun waktu 1970-1986 hanya ditemukan 400 kasus pada manusia yang tersebar di pedesaan dekat hutan di Afrika Barat dan Tengah (Zaire, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Cot d'lvoire, Liberia, dan Sierra Leone). Anak-anak lebih banyak terserang dibanding orang dewasa. Dalam tempo 2-4 minggu penyakit dapat sembuh spontan. Pengobatan umumnya hanya bersifat simptomatik, disertai pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi sekunder oleh bakteri. Pada monyet gejala awal berupa demam, kemudian diikuti oleh pembentukan vesikula pada seluruh permukaan kulit. Vesikula pecah kemudian mengering sehingga terlihat sebagai pengelupasan kulit terutama pada daerah kaki, tangan, bibir, dan wajah. Meskipun angka kesakitan (morbidity rate) pada monyet cukup tinggi, angka kematian (case fatality rate) rendah. Kematian lebih sering terjadi pada monyet anakan. Pada rodensia, termasuk tikus raksasa gambia, virus cacar monyet dapat menyebabkan tanda klinik berupa bulu rontok, pengelupasan lapis luar kulit, sekresi bening dari mata dan mulut. Riwayat cacar Dalam sejarah penyakit, cacar manusia pernah menghantui penduduk dunia karena dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan banyak korban. Yang menarik, cacar manusia jarang sekali ditemukan pada tukang perah susu sapi. Rupanya virus cacar juga ditemukan pada sapi, terutama pada kulit puting susu sapi perah dan dapat menular ke manusia. Namun, penularan bersifat ringan tanpa menimbulkan kematian. Keadaan itu memunculkan gagasan pada Jenner untuk membuat vaksin cacar manusia menggunakan bibit virus cacar sapi, yang kemudian dikenal sebagai vaccinia. Untuk jangka waktu cukup lama vaksin metoda Jenner dipergunakan di berbagai penjuru dunia. Mengingat cacar manusia sangat mengganggu kesehatan, WHO dengan bantuan berbagai pihak berupaya keras membebaskan dunia dari cacar manusia. Kerja keras selama puluhan tahun dan mendapat dukungan dari semua negara akhirnya membuahkan hasil, dunia dinyatakan bebas dari cacar manusia. Namun, selain pada sapi dan manusia, berbagai jenis hewan piara dan hewan liar (sapi, kerbau, kambing, domba, babi, onta, raccoon, monyet, ayam, dan burung) dapat terserang beberapa jenis virus cacar. Beberapa di antara virus cacar hewan dapat menular ke manusia. Pelestari virus cacar di alam raya umumnya hewan liar, antara lain rodensia. Karena itu, cukup beralasan bila pihak CDC Atlanta mencurigai tikus raksasa gambia sebagai pembawa virus cacar monyet ke Amerika. Beberapa tikus raksasa mungkin dapat membawa virus cacar monyet tanpa terlihat gejala apa pun (asimptomatik). Peran anjing padang rumput sebagai penular virus cacar mungkin merupakan catatan baru. Selain cacar monyet, masih ada cacar bentuk lain pada satwa primata di Afrika, yakni cacar Tana (Tanapox, Oregon 1211 pox virus, Yaba-like disease) dan "tumor" cacar monyet Yaba. Kedua penyakit yang disebut belakangan juga lebih ringan dibandingkan dengan cacar manusia maupun cacar monyet, namun cukup penting untuk diagnosis banding (differential diagnosis). Ayam, terutama anak ayam termasuk hewan yang peka terhadap virus cacar ayam (fowl pox). Bagian tubuh yang diserang cacar ayam adalah sekitar mata, paruh dan pial. Penulis beberapa kali menjumpai kasus cacar ayam (di meja praktik) pada anak ayam aduan asal Filipina. Babi juga dapat terserang cacar babi (swine pox), namun penyakitnya bersifat ringan seolah tidak menderita sakit. Kasus cacar babi juga pernah dicurigai oleh penulis pada suatu peternakan di Bali. Dibandingkan dengan virus lain, virus cacar monyet berukuran cukup besar 200-300 nanometer (nm) dan bentuknya khas sehingga mudah dideteksi di bawah mikroskop elektron. Tidak mengherankan apabila peneliti di CDC Atlanta dapat mengenalinya dalam tempo singkat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan virus SARS. Perpindahan satwa Perpindahan satwa, baik migrasi alami maupun lewat perdagangan satwa liar, dapat membawa serta virus dari hutan ke tempat yang jauh. Merebaknya cacar monyet di Amerika adalah salah satu contohnya. Padahal, kenyataan menunjukkan jenis hewan kesayangan yang diperdagangkan makin bervariasi, termasuk yang ditangkap langsung dari habitatnya. Penangkapan satwa liar ini tidak hanya mengganggu kelestarian alam, tetapi potensial menularkan beberapa penyakit. Penularan penyakit satwa liar dapat diminimalkan apabila yang diperdagangkan hasil penangkaran. Tempat penangkaran dapat berfungsi sebagai karantina sehingga sekiranya terbawa virus dari hutan dapat dideteksi di tempat penangkaran. Para penyayang hewan agaknya memang perlu lebih waspada terhadap penyakit yang mungkin bersifat zoonotik (menular dari hewan ke manusia). Drh Soeharsono DTVS PhD Praktisi hewan kecil di Denpasar
Kamis, November 25, 2010
Menyambung status yenol Cacar moyet ada, cacar babi ada, cacar ayam ada.....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar