INDONESIA merayakan ulang tahun ke-65 TNI pada tanggal 5 Oktober dengan memamerkan pesawat tempur sukhoi dari rusia, yang merupakan pesawat terbaru.
Itu terlihat dari Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono yang sangat gembira, yang ikut melihat parade saat sukhoi tersebut terbang rendah di langit Jakarta.
Hanya beberapa hari sebelumnya, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan rencana meningkatkan kemampuan militer Indonesia dengan membeli 180 pesawat tempur Sukhoi sampai tahun 2024, dimana saat ini ada 10 Su-30MKs dan Su-27s yang dimiliki TNI AU. Menhan Yusgiantoro mengatakan ingin melakukan peremajaan alutsista dalam waktu 1 dekade kedepan karena peremajaan alutsista akan berjalan sesuai dengan kemampuan ekonomi.
Tetapi kesenangan jelas pada prospek menggantikan alutsista yang sudah tertingal dan pertikaian antara tentara dan warga sipil dalam misi masa depan angkatan bersenjata Indonesia (TNI).
Indonesia berencana akan fokus memperkuat kekuatan maritim yang akan berlanjut memperkuat angkatan daratnya, ada perselisihan tentang prioritas internal TNI dan mendefinisikan ancaman di masa depan. Ini sekaligus menghadapi tekanan atas peran domestik dan dari tumbuh tantangan eksternal, dari ancaman kejahatan transnasional dengan munculnya China dan India sebagai kekuatan baru militer di kawasan regional.
Juwono Sudarsono, mantan menteri pertahanan, berpendapat ini akan memerlukan perombakan secara menyeluruh untuk TNI dan menyediakan anggaran untuk "meningkatkan kesejahteraan prajurit" dan menyetarakan kemampuan semua mantra angkatan laut, angkatan darat dan angkatan udara". Pada tahun lalu anggaran TNI sekitar $ 3400000000, anggaran TNI kecil dibandingkan dengan negara tetangga dan tidak sesuai dengan APBN.
Yang pertama sejauh mana harus mundur dari keamanan dalam negeri, belasan tahun setelah lengsernya presiden Soeharto yang menyebabkan TNI melepas dwifungsi TNI.
Ancaman seperti terorisme dipandang sebagai kesempatan utama untuk memulihkan sebagian peran domestik TNI dan menjaga perbatasan yang sangat luas.
TNI berada di bawah tekanan untuk keluar dari kegiatan bisnis; perdebatan terus berlangsung tentang apakah tentara harus dipulihkan hak untuk memilih dalam pemilu dan ada tekanan untuk memerangi terkait korupsi militer, khususnya industri sumber daya sekitarnya.
Ada juga perdebatan atas sifat dari ancaman eksternal. Perdamaian panjang di Asia sejak akhir Perang Vietnam telah mendorong ancaman non-tradisional yang disebut, seperti kejahatan transnasional dan ekstraksi sumberdaya secara ilegal, bukan perang antar negara.
Agus Widjojo, seorang pensiunan letnan umum dan rekan senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Jakarta, memperingatkan untuk mendorong kembali TNI ke pusat keamanan internal, menyusul pemisahan polisi nasional dari struktur komando militer pada tahun 1999, merupakan resiko yang harus ditanggung.
"TNI harus mengutamakan pengembangan alutsista dalam negeri," kata Letnan Jenderal Widjojo dalam sebuah wawancara. "Itu tidak berarti TNI tidak harus terlibat dalam keamanan internal, tapi itu bukan misi utama. Dalam waktu damai, kita harus membangun postur pertahanan kita harus siap untuk melakukan pertahanan dari ancaman."
Ada perbedaan pendapat, juga, di bidang strategis. Indonesia memprioritaskan pembangunan angkatan udara disisi lain Indonesia juga ingin melakukan "Green Water" didalam angkatan laut dengan kapal selam baru, peluru kendal,kapal generasi baru, kapal patroli, kapal penjelajah (cruisers).
Selain itu, mengingat anggaran pertahanan yang belum sesuai operasi dan mempersenjatai sistem senjata, semua pembicaraan tentang kemampuan yang lebih besar membutuhkan keberanian yang kuat.
Dari kutipan The Jakarta Globe pada ulang tahun TNI, Muh Taufiqurrohman, dari Institut Studi Strategis Indonesia, menetapkan kasus bagi TNI untuk memprioritaskan pembelian peralatan untuk melindungi perbatasan yang luas dan berpori dari jaringan kriminal, seperti teroris, pembalak liar dan ilegal nelayan, yang menyebabkan Indonesia rugi miliyaran dolar.
Namun Indonesia telah memiliki pengalaman terbaru dari kegunaan senjata konvensional, ketika menghadapi ketegangan antara Malaysia atas Kepulauan Ambalat yang disengketakan di laut yang kaya akan minyak di lepas pantai timur Kalimantan. Indonesia sangat menyadari keunggulan maritim Malaysia. Jelas bahwa perencana strategis Indonesia mendukung peningkatan kemampuan pasukan konvensional untuk menghadapi ancaman konvensional.
Seperti yang dikutip dari Juwono, Menteri Pertahanan Indonesia di saat krisis Ambalat, mengatakan peningkatan pertahanan bangsa dengan pembelian seperti Sukhoi dan kapal perang baru akan memastikan "alih teknologi" agar bisa seimbang dengan "Malaysia, Singapura dan Australia".
Semua orang asia tahu, munculnya Cina sebagai kekuatan militer yang berdampak sangat signifikan di kawasan regional. Tapi Mr Juwono mengatakan ketakutan terhadap Cina bisa ekspansionis atau intervensionis, meskipun apa yang banyak lihat sebagai ketegasan yang tumbuh atas isu-isu seperti klaim teritorial di Laut Cina Selatan. Beijing baru-baru ini menyatakan bahwa daerah yang kaya sumber daya disengketakan merupakan kepentingan utama serta klaim atas Taiwan.
"Merupakan hal yang wajar bila kekuatan ekonomi meningkat untuk mencoba meningkatkan pengaruh baik secara politik dan militer di kawasan regional yang menarik di kawasan Asia Timur Laut dan Asia Tenggara," kata Juwono dalam sebuah wawancara. Dia menambahkan bahwa pembangunan militer China tidak akan dominasi keunggulan Amerika di kawasan" setidaknya 10 sampai 20 tahun mendatang.
Namun, Indonesia tampaknya akan mengambil celah. Ketika Presiden AS Barack Obama akhirnya melakukan kunjungan ke Indonesia, Dan ia berencana untuk menandatangani sebuah "kemitraan yang komprehensif" perjanjian kerjasama militer sebagai salah satu ketentuan kunci.
Namun hubungan China - Indonesia telah terus berkembang di bidang ekonomi, diplomatik dan militer.
Salah satu tanda bahwa kerjasama dengan Beijing yaitu pengiriman pilot sukhoi TNI AU yang sedang berlatih simulator di Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar